-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (1)

Oleh Muhammad Subhan

PENGANTAR:
Pembaca yang budiman, mulai Kamis (1/7/2010), hari ini, Redaksi menurunkan sebuah cerita bersambung (cerbung) karya Muhammad Subhan berjudul “Rinai Kabut Singgalang”. Cerbung ini menceritakan tentang kisah perjuangan seorang anak muda dalam menggapai cita-citanya yang penuh derita dan air mata. Sejak kecil telah ditinggal mati sang ayah, lalu besar di tanah perantauan, menjalin cinta yang tak kesampaian, hingga maut menjemput di akhir hayatnya. Kisah dalam cerbung ini menjadi menarik lantaran dikemas dengan bahasa yang sederhana, mudah dicerna. Semoga dengan terbitnya cerbung ini di www.korandigital.com , menginspirasi penulis-penulis pemula untuk menerbitkan karya mereka. Semoga karya ini bermanfaat, dan selamat mengikuti. (REDAKSI)

***

SATU

Amboi, dari mana saya harus memulai kisah ini. Rasanya semua derita dan kedukaaan yang ditanggung lelaki itu ingin saya tuliskan. Kisah yang menginspirasi saya menulis cerita ini. Bagi saya sahabat saya itu adalah penyemangat, hidup yang penuh keluh kesah namun berusaha bangkit menggapai masa depannya. Seorang anak muda yang tinggi cita-cita, meski cintanya pupus diamuk dendam kemiskinan dirinya dan keusangan adat. Dia orang terbuang.

Tapi baiklah, saya mulai saja kisahnya dari sejak awal mula ia sampai di negeri beradat ini. Begitulah yang lebih baik saya kira, agar Tuan dan Puan tahu siapa dia, asal usulnya. Semoga semua kisahnya menginspirasi Tuan dan Puan, agar jangan pula bernasib sama dengannya. Cukup dia sajalah yang menderita, dan ia tak ingin jalan hidupnya ditanggung pula oleh orang lain.

***

Di awal tahun 1990-an, negeri Aceh menjadi perhatian banyak orang. Bukan saja karena negeri itu kaya raya, penghasil gas dan minyak bumi, namun juga karena konflik yang berkepanjangan. Berbagai media massa dalam negeri dan luar negeri menyorot Aceh, negeri yang terus banjir darah, karena perang saudara meletus, meski yang menjadi korban selalu rakyat jelata.

Di tahun-tahun itulah, di masa perang tak kunjung usai, remaja belia itu menghabiskan hari-harinya. Di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara.

Dia terlahir dari keluarga miskin. Ayahnya seorang buruh pelabuhan dengan upah harian yang sangat kecil. Tak sebanding dengan kerja kerasnya setiap hari. Pagi-pagi sekali sang ayah sudah bangun tidur, shalat Subuh lalu berangkat ke pelabuhan. Senja baru pulang dengan tubuh berbalut debu dan peluh, wajah letih dimakan usia. Kesusahan hidup terpancar di raut wajahnya.

Meski hidup prihatin dengan banyak tanggungan, tetapi ayahnya itu tidak pernah mengeluh. Ibadahnya rajin. Doanya panjang. Ayahnya selalu memotivasi anak-anaknya agar selalu mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan. Ayahnya sering bilang, orang lain banyak yang lebih susah, tapi mereka masih bisa menjalani kehidupan dengan baik.

Sedangkan ibunya, bekerja sebagai tukang cuci. Babu kata orang. Mengharap upah dari satu rumah ke rumah lain. Upahnya pun sangat kecil pula. Tapi sebenarnya sang ibu adalah anak seorang saudagar kaya. Hidupnya senang di masa muda. Tentu sebelum menikah dengan ayahnya. Sejak remaja menjalin kasih lalu memilih kawin lari lantaran pihak keluarga ibunya tidak restu.

Lalu, mereka menetap dari satu kota ke kota lain. Melanglang buana. Dan tentu saja terlunta-lunta. Karena bapak dan ibunya bukan orang berpendidikan, tak ada pekerjaan yang layak buat mereka. Lalu keduanya pun bekerja apa saja asal bisa mendapat uang agar asap di dapur dapat terus mengepul.

Dari buah cinta orang tuanya itu, lahirlah dia dan kedua adiknya. Kedua orangtuanya memberi ia nama Fikri. Dua adik perempuannya, bernama Rahmah dan Annisa.

Meski tidak hidup berkecukupan tapi ia bahagia dengan kehidupan masa kecil. Layaknya dunia anak-anak lainnya, ia turut pula menikmati. Bermain kelereng, tarik tambang, layang-layang, patok lele, juga petak umpet. Ketika itu dunianya begitu indah. Tak ada pikiran selain bermain.

Kalau sudah asyik bermain ia sering lupa belajar, makan, dan pulang ke rumah. Ibunya sering marah jika ia pulang terlambat. Tak jarang ibu menghukumnya dengan hukuman yang ia rasa cukup berat bagi anak-anak seusianya ketika itu. Ia disetrab seharian. Kedua tangan memegang telinga dan kaki kiri diangkat. Ia hanya bisa menyandarkan tubuh ke dinding. Ia sering menangis menerima hukuman itu. Tapi hukuman itu diberikan ibu ketika ayahnya tidak berada di rumah. Ia tak pernah dihukum jika sang ayah ada di rumah. Tentu ibunya takut pada ayah.

Meski sekilas ibunya tampak kejam, tapi sesungguhnya ibu sangat sayang kepadanya. Ibu ingin ia rajin belajar, sekolah setinggi-tingginya menggapai cita-cita agar kelak hidup senang, tidak susah seperti kehidupan kedua orang tuanya. Maka ia pun dimasukkan ke sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Begitu juga kedua adik perempuannya, Rahmah dan Annisa. Mereka berhasil menamatkan sekolah dengan prestasi gemilang. Ia sangat paham betapa susah ayah dan ibu menyekolahkan mereka, adik beradik.

Ketika Rahmah dan Annisa tamat SMA, kedua adiknya itu menemukan jodoh. Mereka pun menikah. Rahmah dapat suami seorang pemuda yang bekerja sebagai tukang bengkel sepeda motor dan ikut suaminya merantau ke Jawa Barat. Sedangkan Annisa menikah dengan seorang guru mengaji, kemudian ikut suaminya pula keluar kota yang tidak jauh dari kampung tempat tinggal mereka. Hanya ia saja yang tidak berpikir untuk segera menikah. Ia ingin kuliah. Ya, kuliah di sebuah perguruan tinggi untuk mengejar cita-citanya.

“Apa yang kau tunggu lagi, Fikri? Kedua adikmu sudah menikah. Seharusnya kau juga sudah menikah sekarang,” kata ibunya suatu hari.

Fikri, seorang remaja yang mulai beranjak dewasa itu tidak menjawab. Ia benar-benar belum memikirkan untuk menikah. Melihat perempuan pun tidak. Satu yang ada di benaknya; kuliah. Ya, ia ingin meneruskan pendidikan. Ia ingin jadi sarjana. Kawan-kawan seangkatannya sudah kuliah semua, sedangkan ia masih menganggur. Belum tahu apa yang akan ia lakukan kecuali bekerja sebagai buruh pula, meneruskan jejak sang ayah yang mulai sakit-sakitan.

“Ibu tahu kau ingin kuliah, tapi kau kan tahu keadaan ayah dan ibu yang hanya makan gaji. Kemana uang akan dicari untuk membiayai kuliahmu?”

Kata-kata ibunya itu sangat menohok batinnya. Nyeri sekali.

“Ibu, izinkan saya merantau. Saya akan bekerja sambil kuliah,” jawab Fikri kepada sang ibu.

“Merantau?” Ibunya kaget sembari mendelikkan kedua matanya ke arah Fikri.

Kemudian ibunya menyela, “Kemana kau akan pergi merantau? Lalu bagaimana dengan ayahmu yang sedang sakit-sakitan itu? Tegakah kau meninggalkannya sendiri?”

Lagi-lagi ia dibuat miris oleh perkataan sang ibu. Dari bilik kamar terdengar ayahnya terbatuk. Batuk yang terasa berat. Terbayang ia wajah sang ayah yang telah renta dimakan usia. Sakitnya bertambah parah. Keluarga tak mampu membawa ke rumah sakit lantaran uang memang tak punya. Kontrak rumah pun mau habis. Sementara penghasilannya sebagai buruh di pelabuhan hanya cukup untuk makan sehari. Begitupun gaji ibu dari mencuci di rumah orang juga tak terlalu bisa diandalkan.

Usai ia dimarahi, ibunya masuk ke kamar ayah sembari membawa secangkir air putih. Wajah ibu masih tampak kesal memandang ke arahnya. Ia benar-benar tak berkutik. Hatinya membenarkan kata-kata ibu. Ia orang susah. Sudah tamat SMA saja sudah untung. Tak usah bermimpi lebih dari itu. Begitulah ia berpikir menghadapi sikap ibu.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]