-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (11)


Oleh Muhammad Subhan

Akhirnya jatuh juga air mata anak muda itu yang sejak tadi telah berat menggantung di kedua kelopak matanya. Siapakah yang takkan iba menyaksikan pemandangan yang sungguh sangat sedih itu. Tubuh mamaknya yang berbaring lemah hanya tinggal kulit membungkus tulang, dan seperti mayat hidup yang bernafas. Kenapa tega benar orang-orang yang membuatnya demikian, mengasingkannya di tengah kebun manggis yang lebat di dekat hutan. Bagaimana dengan makan minumnya, bagaimana pula bila malam datang dan nyamuk-nyamuk hutan yang besar-besar itu menggerogoti tubuhnya, bagaimana pula buang hajatnya. Ya, bagaimana semua itu dilakukan oleh orang terpasung kedua kakinya?

Tidak mampulah Fikri membayangkan semua kedukaan yang menimpa diri mamaknya itu. Tanpa bicara pada Mak Bujang yang masih mematung di dalam gubuk itu, keluarlah ia, lalu duduk menekur di atas batu dekat sebuah pohon berbatang besar. Disanalah ia tumpahkan air matanya sehabis-habisnya, meratapi kemalangan dirinya. Mak Bujang yang paham betapa duka citanya anak muda itu menuruti langkahnya, lalu membelai rambutnya yang ikal dengan penuh kasih sayang ibarat cinta ayah dan anak.

Terdengarlah sesegukan Fikri memecah kesunyian yang membuat siapa saja yang mendengar ingin ikut melinangkan air mata, termasuk Mak Bujang. Tapi Mak Bujang berusaha tegar menyaksikan pemandangan itu.

“Apakah tak bisa lagi ditolong mamak saya itu Mak? Tolonglah dia, janganlah ditinggalkan dia sendirian di tengah hutan seperti ini. Lihatlah betapa kotornya gubuk yang ia tempati. Orang yang sehat saja tak mampu tinggal di dalam bilik seperti itu, bagaimana pula orang sakit. Tolonglah Mak, bawa Mak Safri pulang. Kalaulah tak ada orang yang mau merawatnya biarlah saya merawatnya, sebagai penebus dosa-dosa ibu saya kalau memang ibu saya bersalah di kampung ini…,” ratap Fikri sembari memohon kepada Mak Bujang. Semakin ibalah hati orangtua itu mendengar permohonan anak muda itu.

Heninglah suasana di tengah kebun manggis itu. Tak ada suara burung berkicau, berisik jangkrik, ataupun desiran angin yang mendesah. Semua diam membisu. Seolah ikut merasakan kepedihan yang mendalam di hati anak muda yang malang itu.

Usai membelai rambut anak muda itu, duduklah Mak Bujang di sebelahnya sembari melemparkan pandangan kosong ke pohon-pohon manggis yang berbuah lebat. Sementara sore terus beranjak. Kemudian dia berbisik kepada anak muda itu dengan sangat bijaksana, “Nanti di rumah mamak ceritakan hal ikhwal apa yang telah menimpa diri mamakmu itu. Hari telah sore, ayolah kita pulang dulu ke rumah. Kau juga terlihat sangat lelah setelah berjalan jauh dari Aceh,” ujar Mak Bujang membujuk Fikri. Ditepuk-tepuknya pelan pundak anak muda itu. Sesaat kemudian redalah isak tangis Fikri, dianggukkannya kepala.

Bangkitlah mereka berdua dari bongkahan batu besar di bawah pohon itu. Sebelum beranjak pulang, masuklah sejenak Mak Bujang ke dalam bilik, dihidupkannya lampu minyak di dinding bilik itu namun jauh dari jangkauan si pesakitan yang terbaring lemah di atas dipan usang. Lampu di dinding bagian luar gubuk juga dinyalakan, sehingga tampak sedikit teranglah sekelilingnya.

Di sepanjang jalan pulang banyaklah pikiran Fikri, semuanya tentang diri mamaknya itu, Mak Safri. Sementara hari semakin gelap. Ketika mereka sampai di rumah terdengarlah suara azan dikumandangkan bilal dari corong-corong masjid yang ada di sekitar kampung itu. Terdengar syahdu. Menggetarkan jiwa-jiwa yang gersang dan haus akan kedamaian.

***

Malam itu adalah malam yang sangat tidak menyenangkan di hati anak muda yang baru datang dari Aceh itu. Pikirannya tak habis-habis melayang ke tengah kebun manggis sana, di pinggir hutan di kaki Gunung Talamau. Suara riak merdu air sungai yang tak jauh dari rumah yang ditumpanginya itu tak menarik di hatinya. Apakah yang akan terjadi malam ini terhadap diri mamaknya itu. Macam-macamlah pikirannya, sampai-sampai ia berpikir bagaimana seandainya kalau turun seekor harimau lapar dari hutan mencari mangsa, lalu diobrak abriklah isi gubuk itu. Habislah riwayat mamaknya.

Usai shalat magrib diimbaulah ia ke ruang tengah rumah bagonjong itu. Di meja makan telah duduk Mak Tuo dan Mak Bujang orang tua yang baik hati itu. Makann juga sudah terhidang. Disuruhlah ia makan dan menenangkan pikiran. Mak Bujang sudah berjanji akan bercerita semuanya tentang hal ikhwal Mak Safri yang sakit itu. Meski patah seleranya namun dicobanya juga mengunyah makanan yang dimasak Mak Tuo. Maklumlah di kampung namanya, makan apa adanya. Goreng ikan sungai, sambal cabai hijau, ditambah daun ubi rebus. Bagi yang terbiasa tinggal di kampung, makanan demikian sangatlah nikmatnya.

Bukan makanan itu yang tak enak di lidah Fikri, namun pikirannya itu yang benar-benar suntuk tak mau bernegosiasi sedikitpun dari memikir nasib mamaknya. Tak dapatlah dia membayangkan bagaimana sedihnya hati ibunya nanti jika tahu Mak Safri demikian keadaannya. Apalah lagi Mak Safri adalah abang yang sangat menyayangi ibunya itu. Sejak kecil belia mereka tak pernah berpisah, hanya sejak ibunya memutuskan menikah dengan ayahnya dan tidak mendapat restu keluarga baru abang-adik itu bercerai hingga kini.

“Lambat benar makanmu Fikri. Apa kurang enak masakan Mak Tuo?” tanya perempuan tua itu membuyarkan lamunan Fikri. Sejak tadi dipandanginya wajah anak muda yang duduk kurang bergairah di hadapannya. Tapi ia maklum tentang apa yang terjadi pada diri anak muda malang itu.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]