-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (21)


Oleh Muhammad Subhan

MALAM itu di ruang tengah rumah gadang telah duduk Mak Bujang, Mak Tuo dan Fikri. Mereka usai makan. Namun sejak mula makan tadi, ketiganya tidak bercakap-cakap. Hening saja. Tampak wajah Mak Tuo menahan kesedihan hatinya lantaran kemarin Fikri sudah menyatakan niatnya akan pergi meninggalkan rumah gadang. Kepada Mak Bujang niat itu sudah pula disampaikannya. Kedua orangtua itu akan sangat merasa kehilangan dirinya yang telah dianggap sebagai anak sendiri itu.

Fikri mafhum pula bahwa apa yang dikatakannya itu menambah kesedihan hati Mak Bujang dan Mak Tuo setelah Mak Fikri mamaknya yang malang itu meninggal dunia. Akan bertambah heninglah rumah gadang itu, rumah tempat lahir ibunya, tempat lahir Mak Safri mamaknya, yang dibangun kakek neneknya. Di antara suasana yang hening itu ditatapnyalah dengan tenang dinding-dinding rumah gadang yang telah tiris, menghitam lantaran tuanya dan tidak pernah dicat. Beberapa foto yang tergantung di dinding itu tampak usang pula. Kurang terawat.

Diluar tak terdengar suara jangkrik. Angin pun yang biasa berisik malam itu senyap saja. Seolah semuanya menunggu ketiga orang di dalam rumah itu mengeluarkan suara. Di atas rumah gadang, nun di langit sana, bersinar terang benderang bulan purnama. Menyinari alam di kampung itu yang belum cukup dibangun sarana penerangan.

“Umurku telah lanjut. Kedua kakiku sudah berat berjalan. Seolah maut kian dekat saja di pelupuk mataku. Jika kau pergi meninggalkan rumah ini, sementara nanti habis umurku, kepada siapa rumah gadang ini diwariskan. Siapa yang merawatnya. Akankah ia hancur dilapuk masa. Ketika kau datang dulu, betapa senangnya hatiku aku mendapatkan seorang anak yang akan membantuku di akhir hayat ini. Arwah kakek nenekmu akan senang pula rumahnya ada yang menjaga. Tapi sekarang kau akan pergi meninggalkan rumah ini,” ujar Mak Tuo dengan sangat sedihnya. Tampaklah air mata berlinang di kedua matanya.

Terecenung Fikri mendengar kata-kata Mak Tuo yang berat itu.

“Apa akal saya sekarang Mak, tak ada lagi yang dapat saya kerjakan di sini, sementara umur saya masih muda, banyaklah yang dapat saya lakukan di luar sana, terutama sekolah saya yang masih belum dapat saya teruskan,” ujar anak muda itu dengan takzimnya. Perasaan sedih akan bercerai dengan kedua orang tua itu juga menyelimuti jiwanya.

Mak Bujang tampak terpekur saja. Dia paham akan cita-cita mulia anak muda di hadapannya itu. Di satu sisi ia ingin melihat masa depan Fikri lebih baik, namun di sisi lain rasa sayangnya telah tumbuh dan tak ingin berpisah dari anak itu sehingga berat pula ia melepaskannya.

“Aku paham cita-citamu Fikri. Tak ada kata lain yang dapat aku lakukan selain merestuimu. Pergilah. Namun satu pesanku, janganlah kau lupakan kami di rumah ini,” ujar Mak Bujang kemudian. Berat suaranya terdengar.

“Terima kasih Mak. Restu mamak meringankan langkah saya. Bagaimana saya dapat melupakan tanah kelahiran ibu saya ini? Tidak, saya tidak akan pernah melupakannya. Segala yang sudah-sudah terjadi selama saya di kampung ini, biarlah saya kenang saja dalam hidup saya sepanjang masa. Budi baik Mak berdua, tak kan pula pernah saya lupakan. Hanya Allah saja yang dapat membalasnya dengan kebaikan pula. Doakanlah saya, Mak. Doakanlah,” pinta anak muda itu dengan penuh harap.

“Bila kau akan berangkat ke Padang?” tanya Mak Bujang kemudian.

“Lusa saya berangkat. Barang-barang telah saya kemas di kamar.”

“Baiklah, semoga langkahmu beruntung dan ditolong Allah.”

“Amin.”

Sedikit tenanglah perasaan Fikri mendapat restu Mak Bujang. Hanya saja Mak Tuo masih berat melepas kepergiannya. Maklumlah perempuan namanya, perasaannya lebih halus dibanding laki-laki. Ia lebih banyak berpikir dengan perasaan daripada menurutkan akalnya. Dengan perasaan itu pula sangat mudah jatuh menitik air matanya. Walaupun ia belum pernah menikmati indahnya memiliki keluarga dan anak-anak, namun pertemuannya dengan Fikri sudah cukuplah mengobati hatinya.

“Mak Tuo, mengapa Mak diam juga. Tidak restukah Mak terhadap saya? Beratlah langkah saya jika Mak tak izinkan saya pergi,” ujar Fikri kepada Mak Tuo yang sejak tadi diam mematung. Kedua matanya telah sembab lantaran menangis karena sedihnya.

“Kalau sudah tetap pendirianmu untuk pergi, pergilah. Restuku buat kau juga. Kirim-kirimlah kami surat, agar kami tahu pula keadaan kau di rantau orang. Kalau susah kau rasakan, pulanglah ke kampung ini. Rumah dan tanah kau punya. Tinggal kau kuatkan saja hati untuk betah tinggal di sini,” kata Mak Tuo kemudian. Meluncur juga kata restu di mulutnya setelah dirinya ditenangkan Mak Bujang.

“Alhamdulillah, terima kasih Mak. Insya Allah, akan selalu saya kabarkan Mak nanti setelah saya tiba di Padang dan mendapat tempat tinggal yang baik,” jawab Fikri dengan senyum di bibirnya. Tampak gembira hatinya. Telah lepaslah segala himpitan beban di kepalanya. Kedua orangtua yang baik hati itu telah turun restunya. Restu itulah yang meringankan langkahnya mengarungi kehidupan nanti yang lebih berat, yang ia tanggung sendiri susah senangnya di negeri yang luas, di negeri yang tidak ada tempat ia mengadu, dan biduk kehidupannya akan ia kayuh sendiri menuju cita-citanya yang tinggi.

Cukup larut juga ketiga orang yang besar kasih sayangnya di antara mereka itu berbincang-bincang. Banyaklah Fikri mendapatkan nasihat dari Mak Tuo dan Mak Bujang di malam itu sebagai bekalnya jika ia telah tiba di Padang nanti. Walau kota itu hanya dapat ditempuh tujuh atau delapan jam dari Kajai kampung ibunya, namun cukup jauh bagi seorang anak muda seperti Fikri yang baru kali itu seumur hidupnya mengadukan nasib di negeri orang. Nasehat yang paling berguna benar diberikan Mak Bujang, jika ia telah tiba di Padang nanti, hendaklah ia pandai-pandai menempatkan diri. Budaya di Padang tidaklah sama dengan di Kajai maupun di Aceh negeri ayahnya. Dinasehati pula ia agar dapat mencari induk semang, orangtua angkat tempat ia menumpang. Ibadah tentu jangan pula ia tinggalkan.

“Sangat berharga semua nasehat Mak Bujang kepada saya, insya Allah akan saya jalankan sedapat-dapatnya,” kata Fikri. Kemudian disalaminyalah kedua orangtua itu dengan penuh takzimnya sembari meminta maaf jika selama ia tinggal di rumah gadang ada salah dan khilaf ia lakukan. Takzimnya itu menambah kesedihan hati Mak Tuo lantaran kasihnya yang sangat besar terhadap anak muda itu.

***

JELANG keberangkatan ke Padang pergilah Fikri berziarah ke kuburan kakek neneknya dan kuburan Mak Safri Mamaknya. Dibersihkannya kuburan itu. Disiraminya dengan air kembang rupa warna, lalu duduk ia membaca Alquran di atasnya dengan doa keselamatan buat arwah orang-orang yang dikasihinya itu. Usai berziarah pergi pula ia ke lubuk Batang Tantongar, bermenung beberapa saat lamanya di sana, mengenang masa-masa indah saat pertama kali ia datang ke sungai yang bening airnya dan banyak ikannya itu. Ia pandangi alam sekitar, penuh pohon manggis dan pohon durian yang lebat buahnya. Tupai yang melompat dari satu dahan ke dahan lainnya menyejukkan pemandangan matanya, demikian pula dengan kicau burung yang meningkahi panorama alam hari itu mendamaikan perasaannya yang gersang dari kasih sayang.

Nun jauh di sana, puncak Gunung Talamau tampak bersih tak diselimuti kabut. Gagah benar gunung itu. Hutan belantara yang luas menyelimuti tubuh gunung itu yang tegar sebagai pasak bumi Pasaman. Ladang-ladang penduduk yang berpetak-petak membentang luas di kaki dan lerengnya. Di sawah yang terbentang dengan pematangnya yang berundak-undak, tampak pula anak-anak petani duduk di atas kerbaunya membunyikan seruling, mendendangkan lagu alam yang damai. Angin membawa nyanyian seruling itu, mendayu-dayu, sendu dan syahdu.

Duhai, semua pemandangan yang indah-indah itu tak lama lagi akan ia tinggalkan. Tak akan lagi ia lihat kabut menyelimut lembut di puncak Talamau, kecuali kabut asap dan panasnya cuaca kota. Tak akan lagi ia lihat jernihnya air sungai yang mengalir diantara batu-batu dengan suara riaknya yang merdu bagaikan musik yang dilagukan. Tak akan lagi ia dengar suara burung yang berkicau meningkahi suasana pagi menjelang sang surya terbit menyinari bumi. Semua itu akan lenyap dari pemandangannya. Terbayanglah segala kesusahannya nanti, terbayanglah segala kesakitan yang akan dia hadapi di negeri asing yang belum pernah ia jejaki sebelumnya. Kadang kecut pula hatinya mengingat segala kepahitan hidup itu. Tapi apa hendak dikata, tekad telah ia bulatkan, langkah telah ia ayunkan, berpantanglah ia surut ke belakang.

Usai ia menikmati segala pemandangan alam yang selama ia tinggal di kampung itu menjadi sahabat dan penghalus perasaannya, berpamitanlah ia kepada orang-orang yang ia pergauli selama ini. Ditemuinya bilal di surau yang juga sahabatnya, kala bilal itu berhalangan dialah yang menggantikannya mengumandangkan azan dengan suara merdunya yang disukai banyak orang, teruma anak-anak gadis yang mulai beranjak dewasa. Disalaminya pula tetangga-tetangganya yang tinggal dekat rumah gadang, meminta nasihat dan doa serta mohon maaf atas sikap dan perbuatannya jika ada yang tidak berkenan. Namun semua orang yang dijumpainya itu, memberikan maaf yang setulus-tulusnya dan merasa sangat kehilangan dirinya. Di antara orang-orang itu ada pula yang menitikkan air mata melepas kepergian anak muda itu. Di pandangan mereka tak ada sedikit pun cacat cela, dan sukalah mereka anak muda itu mau berlama-lama tinggal di Kajai. Akan semaraklah surau, akan semarak pula pergaulan diantara sesama mereka.

Hingga tibalah hari itu, hari dimana Fikri harus turun rumah gadang, rumah tempat ibunya dilahirkan, lalu meninggalkan kampung yang permai itu. Telah ringan langkahnya, akan berpetualang ia ke negeri lain yang lebih luas tempat ia menumpangkan harapan masa depannya. Tinggallah Gunung Talamau yang menjulang tinggi setinggi cita-citanya, tinggallah Batang Tantongar yang riak airnya meleburkan segala kedukaannya sebagai orang yang selalu ditimpa kemalangan. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]