-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (22)


Oleh Muhammad Subhan

“Saya pamit Mak, lepas saya dengan doa,” ujar Fikri kepada Mak Tuo dan Mak Bujang yang berdiri di jenjang rumah gadang. Kedua orangtua itu dengan harunya melepas kepergian Fikri.

“Jagalah diri kau baik-baik, pandai-pandailah bergaul. Dimana bumi dipijak, disitulah langit kau junjung. Pakailah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Jika senang hidup kau kelak, ringankanlah langkah kaki ke rumah gadang ini. Entahlah nanti aku dapat melihat dirimu lagi atau tidak, karena ajal hanya Allah jua yang tahu,” terisak Mak Tuo mengucapkan kata-kata nasehatnya. Berlinang-linang air mata kasih sayangnya kepada anak muda itu. Dipeluknya erat-erat bagai kasih seorang ibu kepada buah hatinya tercinta. Fikri tak dapat menahan perasaannya pula hingga bertangis-tangisanlah mereka berdua.

“Doa saya selalu buat Mak Tuo, jagalah kesehatan Mak, jangan Mak paksakan bekerja jika Mak tak kuat melakukannya,” jawab Fikri pula. Diciuminya lagi tangan perempuan tua itu dengan takzimnya.

Kepada Mak Bujang begitu pula, saling berangkulan mereka berdua bagai ayah dan anak. Tetangga-tetangganya yang melihat ikut pula menitikkan air mata. Semua merasa ikut kehilangan. Rasanya begitu cepat waktu berjalan, bagai baru kemarin saja mereka bergaul dan sekarang mereka akan bercerai pula.

Setelah lepas segala doa dan nasehat dari kedua orangtua itu, dan diberikan pula ia sedikit uang sebagai bekal, berjalanlah ia ke halaman. Sekali-sekali ditolehkannya pandangan ke belakang melihat Mak Tuo dan Mak Bujang yang berdiri mematung memandang kepergiannya, melambaikan tangan perpisahan. Hebatlah berkecamuk gemuruh batin anak muda itu kala meninggalkan rumah gadang yang entah kapan lagi dapat ia ziarahi. Hanya Allah jua yang tahu takdir manusia dan ia yakin semua cita-citanya itu dapatlah ia raih.

Terus ia berjalan menyisiri jalan setapak menuju jalan raya tempat ia menanti minibis yang akan ia tumpangi ke Simpang Empat pusat kota Pasaman Barat. Ia lewati pematang-pematang sawah yang luas membentang yang dialiri anak Batang Tantongar. Menyebut nama sungai itu, mucul kembali rindunya akan suara riak airnya yang renyah, mengalir diantara batu-batu gunung yang terhampar di sana sini. Semilir angin Gunung Talamau akan juga ia rindukan. Ah, terasa semakin berat ia meninggalkan kampung itu.

Sampailah ia di persimpangan jelang jalan raya. Di bawah sebuah pohon besar tampak sesosok pemuda berdiri memandangnya dari kejauhan. Dialah Yusuf, sahabat karibnya yang sejak pagi tadi menunggu dirinya dan akan mengantarkannya hingga jalan raya. Ditangannya memegang sebuah bungkusan, entah apa isinya.

“Lamakah Abang menunggu saya di sini?” seru Fikri dengan cerianya kepada pemuda itu yang menyambutnya juga dengan senyuman.

“Ah, tidak terlalu lama. Sejak aku menunggu di sini, aku lihat juga minibis yang akan kau tumpangi belum ada yang lewat, mungkin sesaat lagi. Biasanya minibis dari Talu sudah tiba mengangkut penumpang dari pasar Kajai,” seru Yusuf pula.

“Syukurlah, berarti tidak akan lama saya menunggu minibis itu lewat,” jawab Fikri.

“Mudah-mudahan.”

Usai bersalaman teruslah mereka berdua berjalan menuju jalan raya. Dalam perjalanan itu keduanya saling bercengkrama. Seolah tidak ada lagi beban. Kadang terdengar suara tawa mereka saling bercanda satu dengan lainnya. “Senang hati saya dapat melihat kau tertawa Fikri,” kata Yusuf kemudian.

Fikri tak menjawab. Dia senyum saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di pinggir jalan raya tempat menunggu minibis yang akan ditumpangi Fikri. Jalan itu lengang. Maklumlah meski namanya jalan raya tapi di kampung letaknya, belum banyaklah kendaraan yang berlalu lalang, dan belum seberapa banyak orang punya kendaraan pribadi.

Dari kejauhan tampaklah sebuah kendaraan umum melaju menuju arah mereka. Itulah kendaraan yang ditunggu-tunggu Fikri. Berdesirlah darah anak muda itu menandakan perasaan beratnya meninggalkan kampung itu. “Ah, Bang Yusuf, tiba jua saatnya kita berpisah,” ujar Fikri. Dipandanginya wajah sahabatnya itu lekat-lekat.

“Hati-hatilah kau di jalan. Oh iya, ini ada buku-buku roman buat bacaan kau di kala senggang. Ini buku-buku yang aku beli kala sekolah dulu. Aku sudah membacanya semua. Semoga bermanfaat buat kau nanti,” kata Yusuf. Diserahkannya bungkusan yang sejak tadi ia pegang. Disambut Fikri pemberiannya itu, “Terima kasih. Budi baik Abang tidak akan saya lupakan selamanya,” jawab Fikri sambil menerima bungkusan itu.

Berjabat tanganlah mereka dengan sangat eratnya, lalu berangkulan sebagai dua orang sahabat yang sangat akrab. Berpisahlah mereka saat itu seiring berhentinya minibis yang ditumpangi Fikri. “Menumpang saya ke Simpang Empat,” seru anak muda itu kepada sopir, lalu naiklah ia ke dalam minibis yang penuh sesak oleh penumpang dan barang hasil pertanian.

Berjalanlah kendaraan itu meninggalkan tubuh Yusuf yang melambaikan tangan ke arah sahabatnya di dalam minibis, dengan penuh harunya. Teruslah kendaraan itu melaju melewati jalan mendaki dan menurun, berkelok dan berhenti menaik-turunkan penumpang dari satu kampung ke kampung lainnya yang dilewati. Tinggallah Kajai, tinggallah segala kenangan di negeri yang elok itu.

Minibis yang ditumpangi Fikri melewati Kampung Teleng, lalu ke Pinagar, singgah di Padang Tujuh yang kebetulan sedang berhari pekan. Pasar ramai benar tumpah ruah oleh pedagang dan pembeli. Jalan-jalan macet karena ramainya.

Di sepanjang jalan menuju Simpang Empat yang dilewati, di kiri kanan jalan, terhampar hutan belantara luas, kebun sawit, sawah berpetak dan berundak-undak. Batang Tantongar tentu sudah tidak kelihatan lagi. Semakin jauh dari kampung Kajai, semakin jauh pula puncak Talamau nampak. Semakin mendekat ke Simpang Empat, semakin ramai pula pemukiman penduduk yang terlihat. Kendaraan yang melintas di jalan raya ramai pula lalu lalang.

Setengah jam kemudian tibalah minibis yang ditumpangi Fikri di Simpang Empat, pusat kota Pasaman Barat. Dibayarnya ongkos lalu turunlah ia. Dilihat jalan raya yang lebar empat cabang banyaknya. Jalan ke kanan menuju Air Bangis, jalan lurus ke Sasak, jalan ke kiri arah ke Padang. Di simpang itu pula ia berdiri mematung beberapa lamanya. Memandang lalu lalang banyaknya kendaraan. Simpang Empat tentu bukanlah kota besar, bangunan toko dan rumah-rumah penduduk juga masih sangat sederhana. Namun daerah itu tetap ramai juga.

Beberapa saat lamanya ia berdiri bermenung di simpang itu, tibalah sebuah bis dari arah Air Bangis. “Ke Padang?” tanyanya kepada sopir. “Ke Simpang Gudang. Nanti menyambung bis lagi kalau ke Padang,” jawab sopir. Naiklah anak muda itu dan duduklah ia di bangku depan sebelah sopir agar leluasa ia melihat-lihat pemadangan di sepanjang jalan. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]