-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (17)


Oleh Muhammad Subhan

“Ya sudah, cepatlah kau sembahyang. Dipatuk ayam rezeki kau nanti,” seru Mak Tuo pula.

Tersenyum Fikri mendengar kata-kata Mak Tuonya itu. “Baik Mak,” jawabnya.

Usai sembahyang pergilah ia membersihkan biliknya. Disusunnya kitab-kitab pelajarannya yang ia bawa dari Aceh. Diletakkannya kitab-kitab itu di atas almari kecil yang cukup tergapai jangkauannya. Kasur tempat tidurnya dibawanya ke luar rumah gadang, ditenggerkannya di atas pagar bambu, dijemur agar lepas dari kuman penyakit. Sesudah itu pergilah ia ke halaman, membantu Mak Tuo menyiangi rumput liar yang mulai tumbuh lalu menumpuknya di lubang tempat sampah yang mengepul asap bekas bakaran sampah daun kering.

“Mak Bujang tak tampak seharian kemarin, kemana gerangan beliau Mak?” tanya Fikri kepada Mak Tuo. Perempuan tua itu menoleh sejenak, mulutnya bergerak-gerak, mengunyah daun sirih.

“Kemarin dia berangkat ke Talu, hari pekan. Jagungnya telah panen,” jawab Mak Tuo.

“Oh, iya. Saya juga membantunya sehari sebelum itu memetik jagung di ladangnya. Tapi Mak Bujang tak berpesan akan pergi ke pekan, padahal ingin benar saya ikut membantunya berjualan,” seru Fikri pula.

“Ah, tak usahlah kau ikut dagang di pekan, akan lelah badan kau yang tak terbiasa itu. Sebaiknya bantu aku saja, banyak pekerjaan di rumah. Dan bukankah hari ini kau akan mengantarkan makanan dan membersihkan gubuk Mak Safri mamak kau itu?”

“Iya Mak, saya akan ke gubuk Mak Safri siang nanti,” jawab anak muda itu.

Sesaat kemudian heninglah di antara mereka. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saat menyebut Mak Safri itu, terbitlah ingatan Fikri akan hal ikhwal yang disampaikan Yusuf tadi malam. Timbul lagi rasa was-wasnya kalau-kalau itu benar adanya. Tapi kepada Mak Tuo tak mau ia bercerita tentang kedatangan Yusuf dan apa yang disampaikannya, takut dia kalau-kalau Mak Tuo ikut mengkhawatirkan dirinya. Tapi dia sudah membulatkan tekad untuk tetap pergi menunaikan kewajibannya kepada Mak Safri mamaknya itu siang nanti, memberikannya makanan dan membersihkan gubuknya.

Usai membantu Mak Tuo kembalilah dia ke dalam biliknya lalu mengambil handuk dan pergilah ia ke tepian mandi. Dilepaskannya pakaian, digantinya dengan kain basahan, lalu turunlah ia ke dasar anak sungai yang mengalirkan air Batang Tantongar yang sangat sejuk ia rasakan saat ujung kakinya menyentuh permukaan air itu. Tentulah dingin air itu karena ianya mengalir dari puncak gunung sana. Yang menyejukkan matanya adalah kebeningan air sungai itu, dan tampaklah dasarnya yang bertabur batu-batu kerikil beragam rupa dan warna. Sesekali terlihat pula olehnya anak-anak ikan berlarian di antara celah-celah batu di dasar sungai yang dangkal. Sementara di sekitar sungai itu terhampar pula batu-batu gunung yang cukup besar, sebesar badan kambing dan kerbau.

Segarlah tubuhnya menikmati setiap sentuhan air di anak sungai itu, sembari ditingkahi oleh merdunya suara burung-burung yang berkicau di reranting pepohonan menyemarakkan suasana. Sesekali pula tampak di matanya seekor tupai melompat di antara pucuk-pucuk daun manggis dan batang durian yang memang banyak di sekitar itu. Semua pemandangan alam itu sangat membekas rupanya di batin anak muda itu, sehingga semakin haluslah perasaannya karena keakrabannya pada alam ciptaan Tuhan yang indah-indah.

Sehabis mandi pergilah ia ke lubuk Batang Tantongar yang juga tak jauh jaraknya dari tepian mandi tempat ia membasuh badan. Kemarin sore di lubuk itu ditinggalkannya beberapa kail dengan harapan ada ikan yang memakan umpan di mata kailnya. Kalaulah dapat ia ikan akan dibawanya pulang dan diberikannya kepada Mak Tuo untuk digoreng, digulai, atau dibakar dengan bumbu cabai hijau kasar. Terbitlah seleranya membayangkan masakan Mak Tuo yang lezat itu. Dan benarlah, cukup baik peruntungannya di pagi itu, dari empat buah mata kail yang diletakkannya di lubuk, tiga kail dimakan ikan Kulari—semacam ikan Bandeng—yang cukup besar. Sangat gembiralah hatinya, dan tentulah Mak Tuo akan senang dengan hasil tangkapannya itu.

Itulah kehidupan di kampung, semua serba ada disediakan alam meski uang tak mudah orang mendapatkannya. Di belakang rumah gadang ditanam orang tumbuh-tumbuhan obat dan bumbu dapur, semisal jahe, cabai, kunyit, umbi-umbian, bawang, jagung, dan segala macam tumbuhan lainnya. Sungai yang mengalir menjadi sumber rezeki pula, karena banyaklah ikan bersarang di lubuknya. Sawah-sawah yang terhampar luas di lereng-lereng gunung, berundak-undak tempatnya, kuning-kuning pula buah padinya menandakan sangat makmurnya negeri itu. Buah-buahan begitu pula; manggis, rambutan, durian, dan segala buah yang lezat-lezat selalu ada berganti musim. Siapa pula yang tak betah tinggal di sana? Itulah yang menentramkan hati anak muda itu.

Sembari pulang menuju rumah gadang tempatnya tinggal bersiul-siullah Fikri karena di tangannya membawa tiga ekor ikan Kulari besar yang akan diberikannya kepada Mak Tuo. Beberapa hari sebelumnya kawan nasinya memang hanya telur dadar saja. Begitu pula makanan untuk Mak Safri mamaknya itu. Dan pagi itu ia akan makan daging ikan segar yang lezat tentunya. Masakan ikan itu akan dikirimnya pula kepada mamaknya di kebun manggis sana.

“Mak… Mak Tuo…! Lihatlah apa yang saya bawa ini…!” teriak Fikri dari bawah rumah gadang.

“Ada apa kau teriak-teriak? Apa pula yang kau bawa?” sahut Mak Tuo dari dapur rumah gadang.

“Ini Mak, turunlah Mak ke mari. Lihatlah apa yang saya bawa…!”

Turunlah perempuan tua itu dengan payahnya. Dilihatnya bawaan Fikri. Tiga ekor ikan sungai yang tampak masih segar menggeliat-geliat dalam ikatan kulit rotan di tangannya.

“Dari mana kau dapat ikan itu?” tanya Mak Tuo tak percaya.

“Saya letakkan pancing sore kemarin di lubuk. Saya lihat tadi, eh, rupanya dimakannya mata kail saya. Ambillah ini, Mak. Masaklah yang lezat untukku,” ujar Fikri menyodorkan ikan itu.

“Elok benar nasib kau hari ini. Baiklah, letakkan ikan itu di dapur, nanti aku masakkan gulai yang enak,” kata Mak tuo pula. Tersenyumlah Fikri dengan riangnya. Naiklah ia ke dapur. Menyiang ikan itu, lalu diletakkannya di dalam belanga di samping tungku kayu.

Sesudah itu pergilah ia ke biliknya berganti pakaian.

***

HARI semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring, digulai dengan cabai hijau. Harum benar aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng yang masih hangat.

“Enak benar masakan Mak Tuo. Nikmat saya memakannya,” ujar Fikri. Senyum menyungging di bibirnya.

“Syukurlah ada yang bisa kita masak hari ini,” jawab Mak Tuo pula. Sangat rianglah mereka di hari itu.

“Mak sudah siapkan rantangan yang akan kau bawa buat Safri, mamakmu itu. Ambillah nanti di dapur,” sambung Mak Tuo. “Baik Mak, akan saya ambil nanti.” Jawab Fikri.

Sekenyang-kenyangnyalah Fikri menikmati makanan yang dimasak Mak Tuo hari itu. Lepas segala kerinduannya akan daging ikan segar yang jarang ia makan selama tinggal di kampung itu. Kalau di Aceh janganlah ditanya, hampir setiap hari ia makan ikan segar yang ia dapat dari pukat di laut bersama teman-teman sepermainannya. Sangat cukuplah gizinya kala itu.

Meski jarang makan daging ikan namun bukan berarti tidak betah ia tinggal di Kajai, kampung ibunya yang baru pertama kali ia kunjungi. Segala kedamaian alam ia temui di sini dan jarang ia temukan di Aceh. Semua pemandangan alam yang indah-indah itu, telah menjadi guru baginya, memperhalus budi bahasanya. Bukankah ada ungkapan mengatakan, alam terkembang jadi guru. Segala apa yang diciptakan Tuhan di muka bumi ini, pantaslah dijadikan pelajaran agar manusia tahu jalan hidupnya.

Lama anak muda itu duduk di kursinya usai makan lantaran kenyangnya. Terbit pula peluh di keningnya oleh makanan gulai ikan cabai hijau pedas yang dibuat Mak Tuo. Tapi sebab rasa pedas itu pula membuat terbit seleranya. Kalaulah tidak sudah kenyang ingin pula ia menambahkan lagi nasi ke dalam piringnya. Tapi karena cukup padatlah sudah perutnya niat itu diurungkannya. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]