-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (2


Oleh Muhammad Subhan

Hari itu Selasa. Suasana masih terlalu pagi. Di jalanan orang belum ramai. Suara ombak di pantai yang tidak jauh dari perkampungan sayup-sayup terdengar. Melenguh. Burung-burung di dahan pepohonan rindang bernyanyi, melagukan keindahan alam di hari itu. Matahari perlahan beranjak naik.

Meski hari cukup indah, namun tidak seindah suasana di dalam rumah kontrakan itu. Pagi itu, dari bilik sebuah kamar yang dindingnya telah tiris, seorang perempuan setengah baya berteriak histeris. Dialah Maimunah, ibunda Fikri. Tangisnya meraung-raung. Memecah kesunyian pagi. Suaminya Manaf, ditemukannya pagi itu tidak lagi bernafas. Telah kembali dengan tenang keharibaan-Nya. Innalillahi wainna ilaihi raajiun …

Di samping jenazah ayahnya, Fikri, remaja belia itu, terduduk lemas. Ia tak menyangka Tuhan akan begitu cepat memanggil ayahnya tercinta. Padahal, ia belum sempat berbuat apa-apa untuk membahagiakan sang ayah. Sosok ayah yang begitu sangat sabar menghadapi beratnya cobaan hidup. Sabar pada ibunya yang kadang tak sabar menanggung beban nasib. Sabar pula dalam mendidik dia dan adik-adiknya.

Ramailah rumah itu di hari yang membawa aroma duka. Orang-orang datang bertakziah, menyampaikan belasungkawa. Almarhum ayahnya termasuk orang yang pandai bergaul di masyarakat. Banyaklah kawan karib ayahnya yang datang melayat. Ayat-ayat kitab suci pun bergema di rumah itu.

Sebagai seorang laki-laki yang tak pernah menangis, itulah hari pertama Fikri menjatuhkan air mata di usianya yang beranjak menjadi seorang pemuda. Ia menangisi kepergian ayahnya yang meninggalkan jasad terbujur kaku di atas ranjang dan ditutup kain panjang. Tak lagi bergerak. Wajah almarhum Manaf tampak bersih dan tenang. Matanya terpejam rapat. Begitu juga mulutnya terkatup tak lagi bicara. Kematian memisahkan kasih sayang mereka anak-beranak.

Hari itu pula kedua adiknya, Rahmah dan Annisa, bergegas pulang ke kampung, pertama kali sejak mereka berumah tangga. Rahmah terpaksa pulang sendirian karena ia harus naik pesawat dari Jawa dengan biaya cukup mahal. Suaminya tak bisa ikut karena telah berutang ke sana ke mari untuk menalangi ongkos keberangkatannya. Sementara Annisa, adiknya yang paling bungsu juga pulang bersama suaminya.

Kedua adiknya itu tak kalah tragis tangis mereka. Sejak menikah adik-adiknya itu juga bertekad membahagiakan ayah dan ibunya, namun kematian membuyarkan semua harapan itu. Inilah realita nasib yang sungguh berat mereka rasakan. Manusia merencanakan, Tuhan punya kehendak diluar kemampuan manusia.

Ketika kematian membentang di hadapan mereka, disanalah remaja belia itu berpikir kenapa Tuhan menciptakan kesusahan. Ia mulai berpikir macam-macam kepada Tuhan. Berburuk sangka pada Tuhan. Astaghfirullahal ‘adzim… Ia menganggap Tuhan tidak adil. Saking susahnya untuk membeli kain kafan pun mereka tak punya uang. Belum lagi membuat papan penutup jenazah sang ayah yang akan menemani di liang kubur sebagai rumah peristirahatan terakhir.

Untunglah, dari bantuan tetangga dan sumbangan kawan-kawan almarhum ayahnya yang juga sama-sama buruh, kain kafan dan papan mati akhirnya terbeli juga. Uang ternyata sangat berkuasa bukan saja disaat manusia hidup, namun juga disaat kematian. Untung manusia hidup bermasyarakat sehingga dapat saling tolong menolong. Andai manusia hidup sendiri, mungkin kematian akan lebih tragis lagi.

Begitulah. Di saat senja menjelang malam jasad almarhum Manaf baru dikuburkan orang di pemakaman umum di pinggir kampung. Tempat peristirahatannya yang terakhir. Putus sudah amalannya di dunia. Banyak orang melayat. Tapi ibunya tidak ikut ke pemakaman. Sejak suaminya ditemukan Maimunah meninggal dunia, Maimunah pun tidak lagi sadarkan diri. Pingsan. Para tetangga menyarankan agar orang tua malang itu dibiarkan saja istirahat di rumah. Kalaupun siuman nanti jangan diizinkan dahulu berziarah ke makam suaminya. Perempuan itu masih trauma.

Hari itu benar-benar terasa lambat dilalui keluarga itu. Seolah hari berkata, nikmatilah kematian itu. Jangan cepat-cepat berlalu. Maka tidak ada tangis yang lebih tragis di rumah itu selain anak beranak yang saling bersedu sedan menghadapi kenyataan nasibnya. Memilukan hati siapa saja yang mendengar.

Adat istiadat di kampung itu, setiap kali ada kematian maka malamnya diadakanlah takziah. Banyak orang datang ke rumah yang dilanda kematian untuk membacakan yasin dan tahlilan. Saat itu sering terdengar perdebatan banyak orang tentang boleh tidaknya tahlilan dan yasinan disaat kematian. Tapi orang-orang kampung tidak terlalu peduli. Setiap kali ada kematian maka bertakziah menjadi sesuatu yang ‘wajib’. Maka ramailah orang-orang bersarung dan berpeci datang ke rumah ahlul bait. Mereka umumnya jamaah masjid dan mushalla yang erat ikatan kemasyarakatannya.

Malam itu tikar pun dibentang orang. Tak cukup di ruang tengah, di serambi rumah pun jadi. Pokoknya para pentakziah tidak memberatkan, begitu juga orang yang sedang kematian tidak merasa dibebankan. Semua tugas-tugas itu, mulai dari membentang tikar hingga membuat kopi dan penganan di dapur dilakukan pelayat. Tuan rumah tahu beres saja. Mereka pun mafhum bahwa ahlul bait sedang kematian, jadi tidak boleh merepotkan.

Lalu bergemalah ayat-ayat Tuhan malam itu. Orang-orang yang bertakziah sangat khusyuk melantunkan tahlil yang terdengar dilagukan. Kepala jamaah takziah tampak mengikuti irama tahlilan. Kadang ke kiri kadang pula ke kanan. Menunduk. Mengangguk-angguk. Tahlilan dipimpin oleh seorang ustaz yang alim di antara pelayat. Ustaz tersebut juga memimpin doa bersama yang pahalanya diniatkan kepada si mayit. Keluarga mayit yang ditinggalkan dihibur dengan tausyiah agar tetap bersabar. Kematian adalah ujian Allah agar hamba-hamba-Nya semakin bertambah keimanan. Kematian juga membuktikan bahwa hidup ini tidak abadi selamanya. Ada kehidupan lain yang lebih kekal dan disanalah manusia akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Keluarga Fikri, orang yang sedang tertimpa kematian di dalam rumah itu merasa damai mendengar ayat-ayat Tuhan itu dibacakan. Begitupun pesan-pesan agama yang disampaikan ustaz, sangat meresap di batin mereka. Keluarga malang itu merasa tidak sendirian menghadapi kematian anggota keluarganya. Orang-orang di sekitar merasa peduli terhadap nasib mereka. Maka tahlilan di daerah itu menjadi tradisi dan terus dilestarikan secara turun-temurun.

***

Tanah kuburan itu masih merah. Basah. Di atas gundukan tanah kuburan kembang ragam rupa yang ditabur kemarin masih tampak segar. Jasad orang tua malang itu telah beristirahat dengan tenang di bawah sana. Pada papan nisan tertulis nama: Manaf bin Jalil, wafat dengan tenang 12-07-1995.

Di sisi nisan tampak seorang remaja duduk termenung. Dialah Fikri, remaja malang itu yang sangat muda ditinggal kematian ayahnya. Dirabanya dengan lembut nisan yang mematung itu. Terkenanglah ia masa-masa indah ketika masih bersama ayahnya dahulu. Dengan sepeda onta sang ayah memboncengnya di hari pertama masuk sekolah. Jarak sekolah yang lumayan jauh dari rumah. Namun dengan sabar, sebelum berangkat kerja ke pelabuhan, pagi-pagi sekali Fikri sudah diantar ayahnya ke sekolah.

Setiap tiba di gerbang sekolah, keningnya dicium sang ayah sembari meniup ubun-ubunnya tiga kali sambil membaca ayat-ayat yang tidak jelas di telinganya. “Kamu harus rajin belajar agar cita-cita bisa kamu gapai,” hanya itu kalimat yang sering ia dengar dari bibir sang ayah.

Usai menyalami tangan ayahnya, Fikri pun melepas ayahnya pulang mengayuh sepeda ontanya. Ia berdiri mematung sesaat di pintu gerbang sekolah sembari memandangi tubuh di atas sepeda yang renta itu lalu menghilang di balik tikungan. Begitulah setiap hari yang dilakukan ayahnya hingga ia mampu menyelesaikan sekolah dasar.

Ketika masuk SMP ia tidak lagi diantar ayahnya karena jarak sekolah itu tidak terlalu jauh dari rumah mereka. Ia bersama kawan-kawan berjalan kaki di saat pergi maupun pulang sekolah. Namun demikian ayahnya selalu menasihati agar ia jangan banyak bermain di sekolah. Ia juga diwanti-wanti agar jangan terpengaruh dengan kawan-kawannya yang sudah mulai belajar merokok. Ketika itu godaan merokok sangat kuat sekali karena sebagian besar kawan-kawannya merokok dengan cara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan guru.

“Sekali kau terpengaruh dengan kawan-kawanmu itu, maka selamanya kau akan menyesal,” demikian nasihat ayahnya suatu hari.

Tentu saja, Munaf, ayahnya itu bukanlah seorang perokok. Ibunya juga mengatakan di masa muda ayahnya tidak pernah merokok. Orang tuanya itu pernah trauma menyaksikan kakek, orang tua ayahnya, terserang penyakit paru-paru dan TBC sehingga merenggut nyawanya. Kakeknya meninggal dunia ketika usia ayahnya masih kecil. Menyaksikan tragedi itu, ayahnya hingga meninggalnya tidak pernah menyentuh rokok walau sebatang pun.

Nasihat ayahnya itu terpatri kuat di benak Fikri. Ia pun tidak merokok. Bahkan dekat dengan orang merokok pun ia merasa mual karena bau asapnya sangat menyengat. Ia berbahagia ternyata ia juga tidak berbakat merokok seperti ayahnya.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]