-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Jumat, 23 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (16)


Oleh Muhammad Subhan

Kagetlah anak muda di dalam rumah itu mendengar jendela biliknya di ketuk orang dari luar. Merapatlah ia ke mulut jendela. “Siapakah diluar?” Disahutlah oleh orang di bawah rumah itu, “Aku Yusuf, bukakan jendela ini, ada yang hendak aku perundingkan dengan kau Fikri,” bisik orang di bawah sana. Tak lama kemudian terkuaklah daun jendela itu dengan suara engselnya yang berderit lantaran karatnya.

“Oh, Abang Yusuf. Gerangan apa malam-malam begini Abang menjumpai saya? Adakah suatu hal yang penting perlu Abang sampaikan? Biarlah saya bukakan pintu depan, naiklah Abang,” jawab Fikri.

“Tak usah. Aku buru-buru. Di sini saja. Sudah tidurkah Mak Tuo kau?”

“Sudah sejak tadi Bang,” sahut Fikri.

“Baiklah kalau begitu. Begini Fikri, barusan aku pulang dari perundingan rapat pemuda di rumah Leman. Mereka sepakat akan mencelakakan kau esok hari di kebun manggis jalan ke gubuk mamak kau itu. Aku minta kau jangan ke sana esok. Diamlah di rumah,” kata Yusuf kemudian. Nafasnya terdengar memburu. Was-was benar dia.

“Duhai, mengapa demikian Bang Yusuf? Ada apa gerangan? Mengapa pemuda-pemuda itu hendak mencelakakan saya? Apa salah saya?” Fikri heran atas apa yang disampaikan Yusuf itu.

“Mereka tidak senang atas kehadiran kau di kampung ini. Sudahlah, turuti saja kata-kataku kalau kau ingin selamat. Aku hanya kasihan terhadap dirimu Fikri,” jawab Yusuf.

“Tapi Bang, esok aku harus membersihkan gubuk Mak Safri. Aku lihat kemarin tikus sudah mulai bersarang di bawah dipannya. Aku khawatir kalau-kalau mamakku itu diserang wabah penyakit nanti.”

“Itu masih dapat kau tunda, tapi jangan esok. Sudahlah, ini nasihatku, aku pinta kau tak pergi ke sana. Aku pamit dulu. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.”

Dengan mengendap-endap berangkatlah Yusuf pulang, meninggalkan bilik Fikri. Alam gelap gulita, malam kian larut. Maklumlah suasana di kampung, belum ada penerangan. Yang tampak hanya cahaya redup lampu minyak dari rumah-rumah penduduk yang saling berjarak antara satu dengan lainnya. Angin malam sangat dingin menusuk tulang. Telah lewat pukul 1.00 dini hari kiranya.

Di tengah malam yang gelap gulita itulah Yusuf menyisiri jalan setapak menuju rumahnya yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumah gadang tempat tinggal Fikri. Berjalan di malam hari seorang diri bagi pemuda itu sudahlah terbiasa. Tapi malam itu, perjalanan yang ditempuhnya terasa sangat jauh. Sebab perasaannya bercampur was-was. Pikirannya sejak bubar rapat pemuda tadi selalu diselimuti kekhawatiran terhadap nasib Fikri, anak muda yang baik budi itu. Timbul iba dan kasihannya kalau anak muda itu sampai dicelakakan orang meski ia setuju rencana pengusiran terhadap Fikri.

Dari arah hutan di kaki gunung Talamau sana, suara anjing mengonggong pertanda ada sesuatu hal buruk akan terjadi. Lolongan suara anjing di tengah malam memang diyakini orang sebagai sesuatu yang tidak lumrah. Dikaitkan orang dengan yang ganjil-ganjil. Dan suara anjing seperti itulah yang didengar Yusuf mengiringi langkahnya yang mengendap-endap sebagai orang yang dikejar ketakutan. Hingga beberapa meter lagi jaraknya dari pintu pagar rumahnya, tiba-tiba dari balik sebatang pohon kayu besar, keluarlah dua sosok tubuh berpakaian hitam dengan wajah tertutup kain sarung mencegat dirinya. Lalu tiba-tiba kedua orang itu menyerang dan memukuli tubuh Yusuf, bertubi-tubi hingga ia terkapar tak berdaya. Tersungkur ke bumi.

“Mampus kau pengkhianat!” kata dua sosok itu lalu pergi meninggalkan tubuh Yusuf yang telah tak sadarkan diri.

Rupanya, sejak pemuda berkulit hitam itu keluar rumah Leman, tempat pemuda-pemuda yang sepakat mencelakakan Fikri, dirinya telah diintai orang. Dialah Muin dan Leman yang memang ditugaskan oleh pemuda yang dituakan dalam rapat itu untuk memata-matai Yusuf karena ia membela Fikri. Bahkan ketika Yusuf menyampaikan maksud jahat pemuda-pemuda itu kepada Fikri, Muin dan Leman dari jauh menguping pembicaraan mereka. Maka ketika Yusuf pulang ke rumahnya, habislah ia dihajar dua pemuda berbadan kekar itu.

Sementara di rumah gadang, Fikri tak dapat memejamkan matanya malam itu. Apa yang disampaikan Yusuf, terpatri benar di alam pikirannya. Benarkah pemuda kampung ingin mencelakakan dirinya? Apakah salahnya? Tidak cukupkah dendam yang sudah-sudah dikubur saja dalam-dalam? Haruskah ia menanggung pula dosa ibu bapaknya puluhan tahun silam di kampung itu? Banyaklah pikiran yang memberatkan isi kepalanya. Was-waslah ia. Tapi kala ia teringat nasib mamaknya yang terpasung di gubuk dalam kebun manggis itu dan harus ditolongnya, buyar juga rasa takutnya. Dikuat-kuatkannya hati, tidak mungkinlah pemuda-pemuda itu akan mencelakakan dirinya. Tidak, tidak mungkin itu. Dia cepat akrab bergaul. Bermain bola orang di tanah lapang, ikut pula ia bermain bola. Bergotong royong orang di surau, ia yang paling rajin bekerja. Tidak mungkinlah ada orang yang berniat buruk akan mencelakakannya. Dalam benaknya, Yusuf hanya menakut-nakuti dirinya saja.

Hingga hampir subuh hari barulah terpejam kedua matanya. Tidurlah ia dengan sangat lelapnya.

***

Pagi itu langit tampak sangatlah indah. Awan bak disapu oleh kuas raksasa dan menciptakan panorama bagai permadani membentang dari puncak Talamau yang menjulang. Matahari menyembul malu-malu dari balik pinggang gunung yang diselimuti kabut tipis yang indah. Nun di langit, sekelompok burung bangau putih terbang menuju arah utara.

Suara riak air Batang Tantongar yang mengalir tak jauh dari rumah gadang itu bagai alunan musik yang merdu. Di ranting-ranting pepohonan burung berkicau berbaur dengan suara insekta margasatwa dari arah hutan belantara di kaki gunung sana. Dari kejauhan terdengar pula suara si amang, kera yang bertembolok besar. Suaranya yang bersahut-sahutan seolah menjagakan orang-orang di kampung itu untuk segera bangkit dari peraduan dan beranjak pergi ke sawah ataupun ladang mencari nafkah.

Itulah panorama indah yang senantiasa mewarnai kehidupan di kampung yang cantik itu. Meski jauh dari sentuhan pembangunan layaknya di kota kota besar, namun kedamaian selalu mewarnai kampung itu. Alam sangat bersahabat dengan manusia. Waktu seolah berhenti di sana.

Di halaman rumah gadang itu, terdengarlah orang menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan tekunnya mengumpulkan daun-daun kering yang berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak usai subuh tadi telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak pernah henti meski usianya kian uzur. Sementara di pojok halaman sana induk ayam dan anak-anaknya sibuk mengais-ngais tanah mencari cacing yang bisa dimakan. Sebuah kehidupan yang sangat kontras dan menyejukkan mata siapa saja yang memandang.

Tak lama kemudian, dari pintu samping rumah gadang itu turunlah seorang anak muda remaja. Dialah Fikri. Terlambat rupanya ia sembahyang subuh. Tentu saja karena sejak tadi malam larut benar tidurnya dan nyaris ia tidak dapat memejamkan mata lantaran memikirkan perkara berat tentang kabar yang disampaikan Yusuf. Tapi dibuyarkannya segala pikiran yang buruk-buruk. Meski terlambat ia sembayang, tetap juga ia turun ke tepian mandi, berwudhu lalu menunaikan shalat subuh.

“Sudah tinggi hari baru kau bangun, Fikri? Tak baik anak muda seperti kau terlambat bangun tidur,” seru Mak Tuo dari halaman. “Iya Mak, kurang enak badanku tadi malam,” sahut Fikri. (bersambung)
Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]