-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (9)


Oleh Muhammad Subhan

Ketika ibunya meninggalkan tanah kelahirannya menuju Aceh mengikuti almarhum ayahnya untuk menikah dan membangun rumah tangga, jalanan yang ditempuh ibunya kala itu belumlah beraspal. Bisa disebut masih jalan setapak yang berlombang dan berkubang. Tapi sekarang jalan itu ia lalui dan telah mulus, beraspal hotmik hingga mudahlah bis yang ia tumpangi melintas baik menurun maupun mendaki. Kalaulah jalan itu belum beraspal tentulah berjam-jam lamanya ia akan berada di dalam bis itu.

Hampir sejam lamanya bis yang ditumpangi anak muda itu melaju membelah lebatnya belantara Rimbo Panti. Banyak sudah kampung dilewati meski tidaklah seramai kampung-kampung yang ia lihat di Sumatera Utara. Pemandangan kampung-kampung yang ia saksikan sejak berangkat dari Panti tadi adalah kampung-kampung yang memang masih belum tersentuh sepenuhnya pembangunan. Rumah-rumah penduduk dibangun apa adanya saja, berjarak-jarak antara satu dan lainnya dan tidak bercat, bahkan hampir seluruhnya berdinding papan. Sebagian besar pula kampung-kampung itu belum diterangi cahaya listrik sehingga jika malam gelap gulitalah di sana. Dibanding-bandingkannya dengan kampung-kampung di Aceh, agaknya masih sedikit lebih maju kampung ayahnya itu meski konflik belum juga usai.

Bis telah melewati Talu, dan tidaklah berapa lama lagi bis yang ditumpangi anak muda belia itu tiba di Kajai. Sudah ditanyakannya kepada sopir berapa lama lagi bis akan berhenti di Kajai. Sekira setengah jam lagi. Semakin bergetarlah jiwa anak muda itu. Tak lama lagi kakinya akan menginjak tanah kelahiran ibu kandungnya. Hati siapa yang tak riang jika ia bisa menjejakkan kaki di tanah tempat ibunya berasal. Dikemasilah barang-barang bawaannya yang tidak banyak itu. Hingga tampaklah ia sebuah sungai berair deras yang membelah jalan yang dilalui bis yang ia tumpangi, beriak namun tampak jernih. Itulah Batang Tantongar, sungai yang menjadi sumber air kehidupan masyarakat Kajai dan kampung-kampung sekitarnya yang berasal dari puncak Gunung Talamau.

Nikmatlah ia memandang ke arah sungai itu. Batu-batu besar berserakan di sana-sini. Air sungai itu tampak jernih. Di beberapa cabang anak sungai, di jembatan-jembatannya terlihat tulisan “Ikan Larangan”. Mulanya ia heran dengan kalimat itu. Setelah ia tanya pada penumpang yang duduk di sebelahnya, pahamlah ia bahwa di anak-anak sungai itu diternak orang ikan yang dilarang dipancing. Hasil panen ikan nantinya akan digunakan orang untuk membiayai pembangunan masjid, membuat jalan, ataupun memperbaiki rumah gadang kaum yang tiris. Itulah pelajaran kearifan lokal yang ia dapat dari filosofi ikan larangan itu.

Sampailah bis yang ia tumpangi di sebuah pasar. Itulah Pasar Kajai. Sangatlah ramai pasar itu. Rupanya pasar sedang pekan, hari pasar. Bermacam dagangan digelar orang. Pembelinya pun datang dari berbagai kampung-kampung yang jauh-jauh. Paling banyak dijual orang adalah hasil-hasil pertanian terutama sayur mayur disamping bermacam pakaian dan barang pecah belah.

Di pinggir pasar itulah Fikri turun. Usai membayar ongkos diucapkannya terima kasih kepada sopir dan kondektur bis yang ia tumpangi. Diturunkannya barang-barang bawaannya. Merapatlah ia di sebuah pos ronda di tepi jalan yang di dalamnya tampak duduk beberapa orang tua. Diucapkannya salam, dan menumpang duduklah ia di sana beberapa saat lamanya sembari bertanya-tanya dimana gerangan alamat rumah Mak Safri, mamaknya itu. Mulanya orang yang ditanyanya itu heran ia menyebut nama Mak Safri. Ditunjuk oranglah beberapa nama Safri yang berumah di dekat pasar itu. Namun setelah dinggahinya rumah-rumah orang yang disebutkan namanya oleh orang yang ia tanyakan tadi, tak kenallah orang-orang yang bernama Safri itu kepada dirinya. Rupanya banyak juga orang di kampung itu yang bernama Safri.

Teruslah ia bertanya ke sana kemari. Hingga tibalah ia di sebuah lepau yang ditunggui seorang perempuan tua di dekat jembatan yang dibawahnya mengalir deras Batang Tantongar.

“Siapa nama ibu kau Nak?” tanya perempuan tua itu.

“Maimunah nama ibu saya, Mak,” jawabnya takzim.

Lamalah perempuan penghuni lepau itu memandang Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran hampir seharian dia berjalan ke sana ke mari mencari-cari alamat rumah mamaknya itu. Dipandangnya juga wajah orangtua itu lekat-lekat dengan penuh pengharapan. Kalaulah ia tidak menemukan mamaknya itu, alamat tidak tahulah kepada siapa ia akan menumpang tinggal sementara malam sebentar lagi menjelang.

“Maimunah? Oh, kau anak Munah? Dimana ibumu, Munah sekarang?” kata perempuan tua itu kemudian. Tampak di matanya yang telah redup itu berbinar-binar dan berkaca-kaca.

“Iya Mak. Maimunah ibu saya,” jawab Fikri lagi.

“Naiklah ke rumah Amak. Naiklah…” kata perempuan itu menyuruh Fikri masuk ke rumah yang berjenjang batu. Di dalam rumah tampaklah seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun sedang tekun membaca buku pelajaran di meja tulisnya. Anak itu berdiri menyambut kedatangan Fikri dan menjabat salamnya dengan hormat.

“Wahai Buyung. Tolong kau panggilkan Mak Bujang, katakan ada tamu di rumah,” ujar perempuan itu kepada anak yang dipanggil Buyung itu.

“Baik Nenek,” ujarnya lalu berlari menuruni jenjang di samping rumah.

Masuklah Fikri ke dalam rumah yang tidak terlalu luas itu. Di hatinya berharap ia tidak salah alamat lagi masuk rumah orang. Semoga benarlah rumah itu rumah mamaknya, atau rumah sanak familinya yang kenal dengan Safri mamaknya itu.

Disilakannya anak muda itu duduk di sofa sementara perempuan tua itu bergegas ke belakang. Terdengarlah di telinga Fikri suara gelas berbunyi bahwa orang di dapur sedang membuatkan minuman. Dipandanginyalah sekeliling ruangan rumah itu. Dinding-dinding papan yang menghitam lantaran lamanya tak dicat. Sejumlah foto tertempel di dinding itu. Foto yang sudah tua nampaknya lantaran warnanya yang hitam putih dan usang. Di antara foto itu terlihatlah gambar sepasang pengantin duduk bersanding di pelaminan. Keduanya memakai pakaian adat. Entah foto siapa itu. Sementara di sudut-sudut langit ruangan menempel jaring laba-laba yang menghitam. (bersambung) Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]