-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (13)


Oleh Muhammad Subhan

Tercenunglah Fikri mendengar kata-kata Mak Bujang itu. Atas kesepakatan adat katanya, atas nama kemanusiaan, agar Mak Safri tidak brutal dan mencelakakan orang-orang, mamaknya itu harus menderita sepanjang tahun dengan cara dipasung. Dirantai kedua kakinya. Dikurung dalam gubuk di tengah hutan di kaki Gunung Talamau sana. Apakah cukup manusiawi memasung orang hanya karena ia hilang akalnya, cukup beradatkah mengurung orang di dalam gubuk yang jauh dari jangkauan dunia luar lantaran ia dianggap berbahaya? Tak sampai akal pikiran Fikri, anak muda yang pehiba hati itu memikirkan nasib malang mamaknya. Inginlah ia melepaskannya, membawanya tinggal bersama, senasib dan sepenanggungan. Tapi apalah yang bisa dia lakukan dalam keadaannya sekarang ini? Diri miskin tak berayah, ibu jauh dan orang terbuang pula dari kampung ini, uang juga tak punya. Cita-citanya yang tinggi itu masih jauh di pelupuk matanya dan macamlah halang dan rintangan yang ia lalui.

“Wahai Mamak, kalaulah boleh saya bermohon, izinkanlah saya tinggal di rumah ini. Dan izinkan pula saya membawa mamak saya itu ke rumah ini. Biarlah saya yang menjadi jaminannya. Biarlah saya menjaga dan merawatnya semampu saya. Semoga dalam perawatan saya nanti, jika Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang mengizinkan, bisa sembuhlah sakitnya nanti,” ujar Fikri kemudian, mengharap dengan penuh iba kepada Mak Bujang dan Mak Tuo yang duduk di hadapannya.

Kedua orang tua itu saling berpandangan. Tak percayalah keduanya dengan apa yang mereka dengar. Anak Maimunah, Fikri, yang baru datang dari Aceh itu, sungguhlah halus budi bahasanya, tinggi sopan santunnya dan sangat takzimnya kepada orangtua. Jaranglah ada seorang kemenakan yang mau berbakti kepada mamaknya sendiri jikalau mamaknya itu jatuh sakit. Benarlah ada ungkapan, anak dipangku kemenakan dibimbing. Tapi ungkapan itu semata dilekatkan kepada seorang mamak. Tapi adakah ungkapan yang melukiskan kasih sayang yang besar pula dari seorang kemenakan kepada mamaknya yang miskin? Belum tersuratlah ungkapan itu dalam kitab-kitab adat. Tapi hari itu, apa yang dikatakan Fikri dengan setulus-tulusnya itu, lebih dari sekedar ungkapan. Bahkan dengan sepenuh harapan ia meminta agar mamaknya itu dilepaskan dari pasungannya, dengan seikhlasnya ia mau pula merawatnya tanpa imbalan apapun semata untuk menunjukkan baktinya kepada mamaknya itu, abang dari ibu kandungnya sendiri.

Lamalah kedua orangtua itu termenung dalam diamnya. Seolah kehilangan kata-kata. Selama ini memang kedua orangtua itulah yang merawat Mak Safri. Mak Tuo memasakkan makanan, Mak Bujang mengantarkannya ke gubuk Mak Safri. Begitulah setiap hari, selama bertahun-tahun lamanya. Siapakah yang mampu melakukan tugas sedemikian beratnya itu? Hanya kesabaran yang kuat saja pada diri kedua orangtua itu yang membuat mamak anak muda itu masih tetap bertahan hingga kini. Dan siapakah yang melarangnya untuk tinggal di rumah gadang itu? Rumah kakek neneknya sendiri, rumah ibunya. Tak ada yang bisa melarangnya, hanya saja sebagai orang pendatang di kampung itu, ia tetap tahu sopan santun, adat istiadat yang selalu dijunjung tinggi. Kedatangannya pula bukan untuk menuntut harta warisan dari orangtua ibunya itu, tidak sama sekali. Diterima dan diakui saja dirinya di kampung itu sebagai anak dari ibunya sudah gembiralah dia. Melebihi kegembiraan apapun yang pernah ia rasakan selama ini.

“Baiklah Fikri, akan mamak coba membicarakannya lagi dengan penghulu kaum yang dituakan dalam kampung ini. Semoga kedatanganmu ke sini membawa berkah terutama buat mamakmu itu, dan untuk kesembuhannya. Ya, akan saya coba memusyawarahkannya,” kata Mak Bujang kemudian. Tampak cerah wajahnya. Demikian pula dengan Fikri, terbit juga senyumnya bahwa harapannya tidaklah bertepuk sebelah tangan.

Dijabatnya erat kedua tangan Mak Bujang dengan penuh takzimnya, demikian pula tangan Mak Tuo. Sangat harulah hati kedua orangtua itu. Sungguh mulia benar akhlak anak muda belia yang duduk dihadapannya itu. Meski ibunya dianggap penyebab dari semua malapetaka yang menimpa keluarga di rumah gadang itu, namun anaknya yang berhati emas itu setidaknya menjadi penebus dosa-dosa ibunya itu.

“Sudahlah, semoga Allah memudahkan apa yang kita harapkan. Malam kian larut, kita belum shalat Isya. Mak sudah sediakan bilikmu di sana, itulah bilik ibumu dulu. Tak usah asing di rumah ini. Ini rumahmu juga. Pergilah beristirahat. Tenangkan pikiran. Besok kita coba bicarakan lagi,” kata Mak Tuo kemudian. Diapun bangkit berdiri lalu melangkah dengan jalannya yang sudah payah.

“Baik Mak, ayolah kita shalat berjamaah,” ujar anak muda itu.

Mak Bujang pun menganggukkan kepala. Turunlah mereka ke tepian mandi yang dialiri anak Batang Tantongar yang berair jernih tak jauh di samping rumah. Berwudhu lalu menunaikan shalat Isya berjamaah di rumah itu. Usai shalat pamitlah Mak Bujang pulang ke rumahnya, sementara Fikri masuk ke dalam biliknya, lalu tidur dengan sangat pulasnya hingga subuh menjelang.

***

Datangnya seorang anak muda dari Aceh yang merupakan anak laki-laki Maimunah di kampung itu dalam waktu beberapa hari kemudian sudah menjadi buah bibir banyak orang. Bagi orang-orang tua yang berusia di atas 50 tahun yang pernah hidup sezaman dengan ibunya mafhumlah siapa yang datang itu. Sebagian diantara mereka adalah para datuk, penghulu dan ninik mamak dalam kampung itu. Sebagian ada yang mencibir mengenang kejadian beberapa puluh tahun silam kala ibu anak muda itu menghebohkan kampung yang beradat itu lantaran kawin lari dengan pilihan sendiri. Ibunya itu dianggap tidak beradat, membuat aib, hingga kedua orangtuanya menanggung sakit lalu meninggal dunia. Kini abangnya pula yang sakit kehilangan akal.

Namun bagi yang muda-muda tak tahulah mereka asal usul anak muda itu. Yang mereka tahu ada anak dari Aceh datang ke kampung ibunya di Kajai. Dilihat mereka anak muda itu halus budi bahasanya, sopan santun kepada siapa saja, dan takzim benar kepada orangtua. Pagi-pagi sekali menjelang azan subuh telah duduk ia di saf surau di kampung itu, menanti orang azan. Jika tak ada orang yang azan majulah ia mengambil corong mikrofon lalu berkumandanglah suara azannya di subuh itu membangunkan orang untuk menunaikan ibadah shalat. Suara azannya merdu sekali. Mendayu-dayu dan membuat mata siapa saja yang mendengarkan berkaca-kaca. Irama azannya itu ibarat dendang kesedihan hatinya. Bahkan Mak Tuonya setiap kali mendengar suara azannya berlinang-linang air matanya jatuh membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia. Sangat ibalah hati orangtua itu terhadap nasib yang ditanggung anak Maimunah, yang juga masih ada pertalian kerabat dengannya.

Usai shalat subuh pergilah anak muda itu ke sawah, membantu Mak Bujang membajak. Tak malu-malu ia menghalau kerbau walau ia tak terbiasa melakukan pekerjaan itu. Awal mula belajar payahlah dia mengendalikan kerbau yang berbadan besar itu. Tapi dari hari kehari semakin mahir saja ia. Di tengah terik sinar matahari yang membakar kulitnya, semangatnya tumbuh hingga peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Mak Bujang bangga melihat ketekunan dan kerja kerasnya itu. Semakin sayanglah dia terhadap Fikri dan semampunya berusaha menolong dirinya.

Kala siang datang berisitirahatlah ia, ganti tugas dengan Mak Bujang. Lalu pamitlah ia pulang, membersihkan badan, lalu menunggu Mak Tuo siap merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri, mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin mamaknya itu kelak akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan secara orang sakit. Maka tak ada takut dan segan di hatinya menemui mamakanya itu membawa makanan sendirian membelah kebun manggis dan kebun durian yang luas dekat hutan di kaki Gunung Talamau itu. Dilompatinya batu-batu berlumut yang berserak di anak-anak sungai, Batang Tantongar. Kadang pula dibawanya jala untuk menangkap ikan-ikan kecil yang liar di dasar sungai itu. Atau pancing ia tinggalkan disana, usai pulang dari gubuk Mak Safri dapatlah ia ikan yang memakan kail pancingnya. Itulah pekerjaannya setiap hari yang meriangkan hatinya, tanpa sedikitpun rasa beban dan keterpaksaan.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]