-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (4)


Oleh Muhammad Subhan

Suatu hari, minggu pagi, Annisa datang bersama suaminya Hasan menjemput ibunya Maimunah. Raut wajah Annisa tampak gembira sekali karena Maimunah mau ikut bersamanya. Sehari sebelumnya, Fikri sudah mengemasi barang-barang yang akan dibawa perempuan itu ke rumah Annisa anaknya. Rumah kontrakan yang menyimpan banyak kenangan itu pun telah kosong karena barang-barang yang sedikit berharga telah mereka jual semuanya.

Esok hari, pagi-pagi sekali Fikri akan berangkat ke Padang. Tiket bus telah ia pesan. Ia gembira ibunya mau ikut bersama Annisa adiknya. Ia pun tidak lagi cemas karena ada yang akan merawat ibunya. Ia tidak bisa membayangkan jika ibunya itu tidak mau ikut, ia pun bakal tak bisa merantau ke negeri orang dengan tenang. Padahal ini adalah pengalaman pertamanya merantau di negeri yang teramat asing seumur hidupnya.

Sebenarnya, Maimunah, ibu Fikri keturunan Minang juga. Bagi ibunya Sumatra Barat bukanlah negeri asing. Tapi sejak remaja ibunya itu sudah dibawa merantau kedua orang tuanya ke Medan. Di Medan itulah cinta ibu dan ayahnya bertemu, meski keluarga keduanya tidak restu. Ayahnya keturunan Aceh yang punya usaha kecil-kecilan di Medan. Namun karena Kota Medan cukuplah besar bagi keluarga mereka, akhirnya anak beranak itu menetap di kampung ayahnya di pesisir Aceh Utara. Ayahnya pun menjadi buruh pelabuhan.

“Pergilah ke Pasaman, temui Mak Safri mamakmu *). Dia satu-satunya abangku yang masih hidup. Ibu tak tahu kabarnya kini,” ujar Maimunah kepada Fikri. Anak muda itu hanya mengangguk.

Dulu pernah ibunya bercerita tentang mamaknya itu. Seorang petani di Pasaman. Di negeri itulah ibunya berasal, sebuah kampung indah di kaki Gunung Talamau. Dibelah oleh Batang Tantongar, sungai berair deras namun banyak ikannya. Sejak kecil Fikri membayangkan negeri indah itu, kapan ia bisa kesana.

Tapi terbayang pula di benaknya, apakah keluarga ibunya di sana akan menerimanya secara baik. Ibunya orang terbuang. Dia tahu dari ibunya bahwa negeri itu negeri beradat. Dan, sejak ibunya menikah dengan ayahnya, terasa putus ikatan persaudaraan. Timbul tenggelamlah rasa ragu di hati pemuda itu.

“Akankah saya mendapat penyambutan yang baik di Pasaman itu, Bu?”

Maimunah terdiam. Terkenang ia masa-masa mudanya dulu ketika ia menyampaikan kepada mamaknya bahwa Manaf hendak melamarnya meski usia mereka masih muda. Tapi pihak keluarganya tak setuju. Namun akhirnya mereka memilih jalan mereka sendiri, menikah dengan tidak mendapat restu keluarganya. Untung abang suaminya mau menikahkan mereka.

Berlinanglah air mata perempuan itu mengenang zaman pahit hidupnya. Keputusan nekat itu menyebabkan ayahnya sakit-sakitan sebab menanggung aib di kampung yang beradat meski ia menikah secara sah. Tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia, lalu disusul oleh ibunya. Bergetarlah bibirnya mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

“Ibu menangis…” kata Fikri memandang ke arah ibunya. Perempuan tua itu tak dapat menahan gejolak batinnya. Lalu dipeluknyalah erat-erat anak sulungnya itu. Ia tak ingin nasib dirinya berulang kepada anaknya itu.

“Aku relakan engkau pergi. Temuilah Mak Safri, sampaikan kepadanya bahwa aku masih hidup meski sekarang sakit-sakitan. Dialah abangku yang sangat sayang kepadaku,” ujar Maimunah sambil terisak.

“Iya ibu, amanat ibu akan saya jalankan,” kata Fikri kemudian. Lalu bertangis-tangisanlah anak beranak itu.

Setelah semua kedukaan itu reda. Heninglah rumah itu kembali. Maimunah pergi ke dapur, lalu tibalah Annisa adik Fikri dari serambi rumahnya.

“Duhai abang , kenapa kusut benar wajahmu?” kata Annisa melihat wajah Fikri yang pucat.

Sekejab kemudian Fikri mengembalikan dirinya yang tampak tak terurus. Kemudian ia tersenyum. “Ah tidak adik, dari mana engkau?” katanya kemudian.

“Menemani Bang Hasan di depan tadi, tapi sekarang ia pergi ke pantai sejenak, melihat-lihat orang menarik pukat,” ujar Annisa.

Lalu tumpah ruahlah segala cerita tentang masa-masa kecil mereka di rumah kontrakan itu. Mengenang semuanya, berkaca-kacalah mata Fikri, betapa terasa begitu cepat waktu berlalu. Kalaulah bisa waktu diulang, ingin mereka kembali ke masa-masa yang tak ada tangis kecuali kegembiraan saja buat mereka.

“Ah, sudahlah, tak usah kita kenang masa kecil itu lagi. Kita simpan sajalah dalam lubuk hati ini, semoga kelak kehidupan kita lebih baik,” kata Fikri kemudian.

Annisa, adiknya itu hanya mengangguk sembari menyeka sisa-sisa air matanya.

“Oh, iya abang. Mohon kabarkan kepada kami jika abang telah mendapat tempat tinggal dan pekerjaan nanti di Padang,” harap Annisa.

“Insya Allah.”

“Abang akan kuliah di mana?” tanya Annisa lagi.

“Mungkin di IAIN. Abang akan ambil ilmu dakwah.”

“Lho, bukannya abang dari IPS? Apa siap sekolah agama?”

“Mudah-mudahan. Doakan abang selalu, ya.”

“Amin, semoga jadi pak ustaz ya,” celetuk Annisa sembari melemparkan senyum lesung pipitnya.

Tak lama kemudian, tibalah Hasan dari pantai. Rupanya ia membeli nasi untuk makan siang mereka. Hari sudah tinggi rupanya. Lalu makanlah mereka di hari itu, di rumah yang menyimpan ribuan kenangan yang tak mungkin lagi terulang.

Usai makan, Maimunah memberikan nasihatnya kepada Fikri. Barulah ia ungkapkan isi hatinya bahwa sebenarnya ia bukan tidak ingin melihat Fikri kuliah, menjadi orang berpendidikan dengan pekerjaan yang layak kelak. Ia hanya khawatir kalau remaja itu gagal menggapai cita-citanya. Dia tahu benar bahwa Padang adalah kota besar. Anak yang belum matang hidupnya seperti anaknya itu akan banyaklah mendapat rintangan di sana.

“Maafkan ibu yang selalu memarahimu. Ibu ingin kehidupanmu lebih baik dari kehidupan ibu dan bapak,” ujar perempuan itu kemudian. Matanya berkaca-kaca, lalu tumpahlah butiran bening membasahi kedua pipinya yang mulai menampakkan garis-garis ketuaan.

Tampaklah di mata Fikri betapa beratnya orang tua satu-satunya itu melepas kepergiannya. Begitu pula Annisa, juga ikut menangis sebab sejak kecil tidaklah pernah mereka berpisah. Terbawa pulalah perasaan Fikri hingga berlinang pulalah air matanya menghadapi kedukaan ibu dan adiknya itu.

Tuhan, lindungi ibu dan adik-adik hamba. Sehatkan mereka. Dan berkahi langkah hamba dalam menuntut ilmu di negeri orang, demikian doanya.

Naiklah Maimunah dan Annisa beserta suaminya menumpangi bis ke Banda Aceh. Sebab di kota itulah mereka tinggal. Hingga sampai bis itu berjalan, belum juga Fikri beranjak dari tempatnya berdiri. Bibirnya tak henti-hentinya bergetar, mengucapkan doa mengiringi keberangkatan ibu dan adiknya dari kampung itu, entah sampai kapan lagi mereka akan bertemu.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]