-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (19)


Oleh Muhammad Subhan

Kematian Mak Safri yang dibunuh oleh dua orang tak dikenal di tengah hutan manggis dekat gubuk tempat ia dipasung menggemparkan kampung Kajai. Hebohlah semua orang. Dalam sekejap peristiwa yang ngeri itu tersebar dari mulut ke mulut, khususnya di lepau lepau.

Ramailah rumah gadang tempat tinggal Fikri yang selama ini lengang. Di ruang tengah terbujur kaku mayat Mak Safri yang telah dimandikan orang. Di sisi kepalanya menekur seorang anak muda yang telah sembab kedua matanya lantaran sedihnya menahan tangis meratapi kematian itu. Dialah Fikri, anak muda yang penuh kemalangan dalam hidupnya.

Berganti-ganti orang yang datang melawat dan turut berbelasungkawa turun naik rumah gadang itu. Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian Mak Safri. Sebuah pemandangan yang sangat kontras, mengapa setelah matinya barulah banyak orang peduli sementara dikala hidupnya tak seorang pun sudi menjenguknya yang terlantar di tengah hutan sana.

Di hari itu bertalu-talulah kentongan bambu dibunyikan orang pertanda ada yang kemalangan. Maklumlah di kampung namanya, apapun yang terjadi dalam sekejab tersiarlah kabar dan tahulah semua orang.

Mak Tuo tak kalah sedihnya menyaksikan pemandangan yang ngeri itu. Betapa tidak sedih hatinya, selama bertahun-tahun dialah yang dengan setianya merawat dan memasakkan makanan buat Mak Safri. Kini tak ada lagi masakan yang ia masak buat orang yang malang dan masih kerabatnya itu. Mak Bujang yang sedang berjualan di hari pekan di Talu sore itu pulang ke Kajai lantaran dijemput orang mengabarkan kejadian itu. Tampaklah wajah berangnya menyaksikan pembunuhan yang dilakukan orang terhadap Mak Safri. Berteriak-teriaklah dia dengan kerasnya dan berjanji akan mencari pelaku pembunuhan itu.

“Bukan Safri yang harus dilawan, kalaulah jantan aku inilah lawan buat mereka. Akan aku cari mereka sedapat-dapatnya!” teriak Mak Bujang, terbit juga jiwa parewanya yang selama ini ia dikenal sebagai orang yang banyak diam daripada cakapnya.

Melihat keadaannya yang demikian, banyak pula orang tua yang menyabar-nyabarkannya sebab ia telah kehilangan dirinya itu. Masalah Mak Safri itu dikatakan nanti akan dimusyawarahkan di balai adat mencari ujung benang yang kusut. Sementara di luar rumah gadang tampak pula beberapa orang anggota kepolisian yang berjaga-jaga setelah mereka melakukan olah TKP (tempat kejadian perkara) di lokasi ditemukannya mayat Mak Safri.

Di tengah rumah beberapa orang siak (orang alim) duduk bermufakat tentang segala keperluan penyelenggaraan jenazah Mak Safri itu. Atas kesepakatan beberapa kerabat dekatnya, jenazah Mak Safri akan dikuburkan orang di pandam pekuburan kaumnya di pinggir kampung dekat lubuk Batang Tantongar.

Jenazah Mak Safri dan tubuh Fikri yang beradarah-darah itu dan tak sadarkan diri ditemukan orang yang sedang mencari kayu bakar di hutan manggis yang kebetulan ia melintas di sana. Pencari kayu bakar itulah yang mengabarkan kepada orang kampung tentang peristiwa yang ngeri itu sehingga digotong oranglah tubuh mamak dan kemenakan itu ke rumahnya. Di sangka orang Fikri telah tewas pula, namun rupanya dia hanya tak sadarkan diri saja lantaran shok dan tak kuat menanggung cobaan yang sedemikian berat itu.

Usai diratapi Fikri dan Mak Tuo, diangkat oranglah jasad Mak Safri ke surau yang tak jauh dari rumah gadang untuk disembahyangkan. Fikri tak sanggup ikut menyelenggarakan mamaknya itu maupun menyembahyangkannya lantaran keadaannya yang juga masih lemah. Ia duduk saja terpekur dengan sedihnya di sudut surau menyaksikan jasad mamaknya itu disembahyangkan orang. Tampak sembablah kedua matanya.

Liang lahat buat mamaknya itu telah digali orang, tepat disebelah kuburan ayah ibunya di pandam pekuburan kaumnya. Di sanalah rumah abadi Mak Safri. Saat jenazahnya diturunkan orang dari surau menangislah lagi anak muda itu, sedu sedan suaranya lantaran kasihnya kepada orangtua itu. Terbayang pula di pelupuk matanya kala orang menurunkan jasad ayahnya dari rumahnya dahulu di Aceh. Sebuah perceraian yang tak mampu ditanggung bagi siapapun orang yang terdekat dengan si jasad yang tak lagi bernyawa itu.

Lalu turunlah orang ke lahat menyambut jasad Mak Safri dan dibaringkan orang tubuhnya yang berbalut kain kafan hingga wajahnya menyentuh tanah menghadap ke kiblat. Lalu sedikit demi sedikit dijatuhkan orang tanah menimbun tubuhnya hingga penuhlah lubang kubur itu ditutupi tanah yang membuat siapapun yang menyaksikan pemandangan itu insyaf akan rumah masa depan mereka yang kekal. Hanya amal saja yang akan menerangi kubur itu dan akan menjadi pembela kelak kala malaikat Mungkar dan Nakir memberikan pertanyaan kepada si mayat di dalam kuburnya.

Gundukan kuburan Mak Safri tampak basah lantaran rinai turun yang seolah ikut berduka atas kematian itu. Kembang rupa warna ditabur orang di atas kuburnya. Tersuratlah nama orangtua malang itu di papan nisan kayu yang ditanamkan orang di atas kuburnya. Sampai semua pengiring jenazah pulang, namun di atas kuburan itu masih tinggallah Fikri seorang diri membacakan ayat-ayat Alquran yang dia hafal buat mamaknya itu. Sekali-sekali terdengarlah sesegukannya. Alam sekitar sunyi senyap. Di pucuk-pucuk kamboja butiran air hujan menggelantung lalu jatuh membasahi tanah.

Saat ia hanyut dalam doa panjang buat mamaknya itu, datanglah Yusuf orang yang menasihatinya malam itu agar jangan pergi menemui mamaknya lantaran ia diancam akan dicelakakan oleh pemuda yang iri hati kepadanya. Duduklah pemuda itu di sisi Fikri, ikut berdoa, lalu merangkul pundak anak muda itu dan mengusap-usapnya dengan lembut.

“Seharusnya saya dengar nasihat Abang semalam,” ujar Fikri kemudian.

Pemuda disebelahnya itu tak menjawab. Dirinya merasa ikut berdosa atas kematian Mak Safri. Sampai hati kawan-kawannya melakukan perbuatan keji demikian. Insyaf ia bahwa Fikri adalah anak muda yang baik hati dan tidaklah pantas ia dicelakakan.

Heninglah sejenak di antara mereka. Alam yang sunyi itu semakin menambah kesedihan di antara mereka.

“Sudahlah, ayo kita pulang. Tak baik kau terlalu larut atas kemalangan ini,” kata Yusuf kemudian. Diajaknya Fikri pulang lantaran hari semakin gelap.

“Aku ingin menemani Mak Safri sejenak di sini, Bang,” jawab Fikri.

“Tapi tak baik buat kesehatan kau Fikri, masih ada waktu untuk berziarah. Hari sudah gelap,” ujar Yusuf.

Berat juga Fikri beranjak. Namun benarlah alam telah mulai gelap dan senyap. Di pandam pekuburan itu hanya terhampar batu nisan yang di bawahnya terbaring jasad-jasad yang telah tenang kembali ke haribaanNya. Suara jangkrik pun mulai ribut menyambut malam.

“Baiklah Abang, kita pulang,” jawab Fikri kemudian. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]