-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (5)


Oleh Muhammad Subhan

Kalaulah boleh meminta, inginlah Fikri menetap selamanya di kampung pesisir itu. Tapi ia tak lagi punya siapa-siapa. Ayah telah mati, ibu telah pergi pula. Kini sebatang karalah dirinya di negeri yang telah membesarkannya.

Usai shalat Subuh, berjalanlah ia menyisiri bibir pantai landai di kampung pesisir itu. Matahari perlahan naik usai menyisakan semburat fajar merah yang merekah di kaki langit sana. Deburan ombak terdengar melenguh menjilat bibir pantai berpasir putih. Beberapa nelayan mendaratkan biduknya setelah semalaman mengarungi ganasnya samudera nan luas.

Sungguh damai pagi itu ia rasakan. Angin berhembus sepoi. Ke arah matahari terbit, kesanalah pandangannya ia hamparkan. Ingin ia gapai matahari itu, mengejarnya, memeluknya erat-erat. Tapi ia cepat insyaf, ia menginjakkan kaki di bumi. Matahari adalah cita-citanya yang masih jauh.

Setelah puas memandang laut di pagi itu, cepat-cepatlah ia pulang ke rumah. Barang-barangnya yang akan ia bawa ke Padang telah disusunnya sejak semalam. Hanya satu kopor kecil pakaian, dan dua kardus buku-buku pelajarannya dulu. Diikatnya erat-erat. Hanya itulah bekal yang bisa dibawanya di tanah rantau kelak.

Sebelum dilangkahkannya kaki keluar rumah itu, dipandanginyalah lekat-lekat ke sekeliling rumah yang menyisakan kenangan-kenangan indah semasa kecilnya dulu. Ketika ayahnya masih hidup. Ketika mereka masih berkumpul bersama. Di tengah ruang makan tampaklah ia tempat biasa mereka makan bersama. Kamar tidurnya telah kosong, hanya menyisakan jejak jaring laba-laba di sudut langit-langitnya.

Berkaca-kacalah matanya mengenang semua kebahagiaan yang pernah ada di rumah itu. Hari itu juga, ia harus menguburnya dalam-dalam agar jangan membawa duka dan kesedihan hatinya saja. Ya, sejak ayahnya berpulang, ia semakin menjadi orang yang sangat pehiba hati. Semua apa yang ia lihat di rumah itu, menambah besar saja kesedihannya.

Cepat-cepat ia alihkan pandangannya ke arah pintu. Sekuat tenaga ia buyarkan lamunannya yang menghadirkan segala suka duka saat-saat mereka masih bersama di rumah itu. Ia harus pergi. Ya, tekadnya sudah bulat meninggalkan kampung pesisir itu.

Berpamitanlah ia kepada tetangga-tetangganya yang melepasnya dengan linangan air mata, sebab mereka mafhum atas penderitaan yang dialami anak muda itu. Beberapa orang di antara tetangganya itu mengantarnya hingga ke tepi jalan menanti bis yang akan membawanya ke Padang.

“Jika kau telah berhasil kelak, pulanglah kemari, jenguklah kami,” ujar tetangganya itu. Ia hanya tersenyum lalu menjabat erat tangan orang-orang yang selama ini dipergaulinya sebagai sanak saudara. “Baik Mak Cik, semoga ada untung saya kembali ke kampung ini.” Itu saja kata yang bisa ia ucapkan.

Beberapa saat kemudian tibalah bis yang akan ditumpanginya ke Padang. Naiklah ia ke dalam bis itu, meninggalkan kampung halaman tempat lahir dan dibesarkan. Sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara.

Perlu pulalah diceritakan sedikit di sini tentang negeri kaya sumber gas alam ini. Tapi sejak konflik, kehidupan masyarakat di negeri ini setali tiga uang. Ekonomi sangat sulit. Pendidikan payah. Di jalan-jalan aparat melakukan razia. Di tengah pasar pun orang dihebohkan dengan pembunuhan. Dendam berkecamuk. Banyak anak kehilangan masa depannya sebab kematian bapak ibunya. Yatim piatu dan janda di mana-mana. Rasanya inilah negeri yang dirundung duka selamanya.

Tapi di negeri yang diamuk konflik itu pula, disitulah Fikri lahir dan dibesarkan. Di suasana yang tak menentu, berhasillah ia menamatkan sekolah dasar, SMP hingga SMA. Tentu saja dengan jerih payah, keringat, serta linangan air mata bapak dan ibunya. Sempat ia tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMA lantaran ayahnya ketika itu tidak punya biaya. Tapi tekad untuk terus sekolah terpatri kuat pada dirinya sehingga seorang guru bersimpatik lalu mengurus beasiswa untuk kelangsungan pendidikannya.

Terkenang pula ia ketika ayahnya memasukkannya ke balai pengajian. Di Aceh, sebagai seorang muslim mengaji Alquran adalah kewajiban. Di balai pengajian itu ia diajarkan baca tulis Alquran. Selain juga membaca kitab kuning dan kitab-kitab bertulis arab-melayu. Sebagai keterampilan dakwah, gurunya mengajari pula keterampilan berpidato. Suka pula ia menyimak pengajian agama yang disampaikan KH Zainuddin MZ. Saat itu kaset-kasetnya laku keras di pasaran. Bahkan Fikri punya koleksi pula sejumlah kaset-kasetnya di rumah. Senanglah ia meniru-niru gaya bicara kiyai kondang sejuta umat itu, juga humor-humornya yang segar. Retorikanya luar biasa hebat. Tak jarang gaya dan suara KH Zainuddin MZ ia tiru ketika dapat giliran berpidato di tempat pengajian. Di atas podium ia merasa menjadi KH Zainuddin MZ ‘nomor dua’. Itu istilah ibunya yang diberikannya kepadanya setiap kali ia berpidato. Banyak pula kawan-kawannya terpesona dengan penampilan ia bicara.

Itulah sebait kenangannya sekolah dan mengaji di negeri konflik. Ia hanya berharap, kepergiannya dari Aceh itu semata mencari kehidupan yang lebih baik, meski ia tak tahu apa suratan takdirnya nanti di ranah minang.

Bis yang ditumpanginya terus berjalan membawa puluhan penumpang lain yang setujuan ke Padang. Dirasakannya bis berjalan terasa sangat lambat. Rumah-rumah penduduk dan pepohonan di pinggiran jalan seolah ikut berlari ke arah belakang, juga dengan lambat. Tak lama kemudian bis melintasi jalan raya PT Arun LNG, perusahaan gas terbesar di Indonesia yang berada di Kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Disaksikannyalah kilang-kilang gas yang sangat besar. Nun di sana, di tepi pantai tampak beberapa buah cerobong gas tinggi menjulang dan mengeluarkan api besar yang berkobar di puncaknya. Langit memerah. Asap hitam membubung ke udara.

Ladang gas itu sangat luas. Sejauh mata memandang hanya hamparan ladang minyak dan gas yang gersang. Puluhan kilang-kilang raksasa mengekalkan keangkuhan kekayaan alam negeri itu. Ladang itu dibatasi pagar-pagar kawat yang menjulang tinggi. Seolah menjadi tembok pemisah antara si kaya dan si miskin di luar sana.

Konon, karena ada tembok pemisah itu pula Aceh mengalami konflik berkepanjangan. Pemuda-pemuda negeri itu sebagiannya berontak karena tidak mendapat pekerjaan layak di negeri sendiri, lalu masuk keluar hutan bergabung bersama pemberontak dan memanggul senjata. Di ladang gas itu, para pekerja umumnya didatangkan dari luar Aceh.

Dalam hati anak muda itu bersyukur pula bisa hijrah, sebab tetap tinggal di daerah sendiri harus menghadapi pilihan pahit. Berpihak pada orang-orang bersenjata di dalam hutan meski tidak ikut bersama mereka dianggap sebagai pemberontak. Sebaliknya dekat dengan aparat dianggap pula sebagai pengkhianat. Keadaan itu memang sangat rumit dihadapi orang-orang Aceh. Maka jika ingin terus bertahan hidup dan ingin perubahan yang lebih baik, jalan satu-satunya adalah keluar Aceh.

Banyaklah ia mendengar cerita dari orang-orang yang hijrah keluar dari Negeri Tanah Rencong itu menemukan kesuksesan hidup mereka. Orang-orang Aceh diluar sana hidup damai di negeri orang. Mereka tak lagi menonjolkan ego kesukuan. Berbaur dengan ragam orang dari berbagai daerah, budaya, suku, ras dan agama. Terbayanglah semua cerita itu dibenaknya. Melenakan jiwanya yang pertama kali meninggalkan kampung halaman, mengadu nasib dan peruntungan. Ingin pula ia merasakan bagaimana hidup sebagai anak dagang di negeri orang. Sudah terbayang kelak sulitnya hari-hari yang akan ia lalui. Sebab, pengalaman tak punya, ilmu terbatas pula. Apalagi kawan karib dan kerabat di sana tak punya. Kalaulah Maimunah ibunya mengatakan ia harus menemui Mak Safri, mamaknya di Pasaman, buta pulalah ia akan negeri itu. Padang saja yang disebut orang kota besar tak tahu ia rimbanya, apalah lagi Pasaman yang tak pernah terbayang di benaknya bagaimana suasana negeri itu.

Tapi dikuatkannya juga hatinya mencari Mak Syafri yang disebut ibunya itu. Semoga saja mamaknya itu masih ada, menyambutnya dengan baik dan dapat membantunya meneruskan cita-citanya di Padang.

Desiran angin yang masuk dari celah kaca jendela bis menampar-nampar rambutnya dan membuat ia terbuai dilamun asyik masyuk. Matanya pun diserang kantuk yang terasa semakin berat. Ia pun merebahkan kepalanya di sandaran kursi. Tak lama kemudian terlelaplah ia dalam mimpi.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]