-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (12)


Oleh Muhammad Subhan

“Sangat enak masakan Mak Tuo. Hanya saja kepala saya agak sedikit berat, mungkin terlalu lelah sejak di perjalanan kemarin,” ujar Fikri. Diusahakannya segera menghabiskan makanan di piringnya itu.

“Tambahlah, di kampung ini udara dingin, orang cepat lapar jika tidak makan banyak,” kata Mak Bujang pula yang duduk disampingnya.

“Iya Mamak, terima kasih.”

Sesaat kemudiaan di antara mereka tidak ada yang bersuara. Sibuk dengan pikiran dan makanan masing-masing. Hanya seekor cicak disudut ruangan rumah gadang itu saja yang mengeluarkan suara khasnya. Sementara di luar rumah suara jangkrik malam terdengar berisik.

Usai makan beranjaklah mereka ke ruang tengah rumah gadang yang hanya disinari lampu minyak di beberapa sudut ruangannya. Sembari menunggu Mak Tuo membereskan sisa makanan dan piring di atas meja makan, Mak Bujang asyik mengisap rokok daunnya yang mengepulkan asap di langit-langit ruang tengah. Sementara Fikri telah duduk bersila sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding namun hanya termenung saja.

Tak lama kemudian tibalah Mak Tuo. Di tangannya tampak memegang sebuah buku, tepatnya sebuah album foto. Duduklah mereka bertiga di ruang tengah rumah itu hingga Mak Bujang membuka pembicaraan yang mencairkan suasana hening malam itu.

“Fikri, senanglah kami atas kehadiranmu di rumah ini. Mak Tuo ini adalah kakak dari Munah ibumu. Ibu Mak tuo dengan ibu dari ibumu beradik kakak. Sedangkan aku adalah mamak jauhmu yang masih ada kekerabatan dengan ibumu. Rumah gadang ini adalah rumah warisan kakek nenekmu yang diamanahkan kepada Mak Tuo untuk menempatinya. Sementara aku tinggal tak jauh dari sini bersama istri dan seorang anak. Tentu kau ingat kemarin seorang anak laki-laki yang menjemput aku ke sawah, itulah Buyung putraku,” ujar Mak Bujang. Beberapa saat ia diam sejenak sembari mengisap sisa-sisa rokok di jarinya. Asap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya mengepul ke udara.

Fikri dengan takzimnya menunggu kelanjutan cerita Mak Bujang.

“Kau tentu sudah mendapat cerita dari Munah ibumu kenapa ia dahulu itu meninggalkan kampung ini bukan?” tanya Mak Bujang kepada Fikri.

“Sudah, Mamak. Sedikit banyak saya sudah dapat cerita dari ibu dan almarhum ayah saya tentang itu,” jawab Fikri.

“Syukurlah.”

Mak Tuo kemudian mendekat duduknya ke arah Fikri dan menyerahkan album foto di tangannya. Dibentangkannya lembar demi lembar album itu, tampaklah sejumlah foto berwarna hitam putih yang telah usang dimakan usia.

“Ini gambar ibumu dan Safri abangnya di masa mereka kecil, juga ada gambar kakek dan nenek engkau disini. Lihatlah,” ujar Mak Tuo.

Diambilnya album foto itu. Dilihatnyalah isi album itu yang penuh gambar tentang ibunya di masa muda remaja, terutama di saat-saat sekolah. Cantik benar wajah ibunya di masa remaja. Setiap gambar ibunya selalu ada disampingnya berdiri atau duduk gambar Mak Safri mamaknya. Akrab benar mereka berdua, pikir Fikri. Pantas kasih sayang diantara keduanya sangat erat hingga kini. Tampak pula di matanya gambar kakek neneknya yang memakai pakaian adat lama. Juga ada gambar ibunya di masa balita digendong neneknya.

“Kakek nenekmu sangat sayang kepada Munah ibumu karena ia satu-satunya anak perempuan di rumah gadang ini. Demikian pula dengan abangnya Safri. Kasih sayang diantara kakak adik itu sangat erat. Mereka bersekolah bersama, mengaji bersama, bermain bersama. Tiada hari tanpa kebersamaan. Irilah banyak orang menyaksikan keakraban diantara mereka. Oleh ayah ibunya pun apa yang diminta selalu dibelikan. Karena kakek nenekmu kala itu bisa dikatakan orang berada, kebun dan sawahnya luas. Punya kedai kain pula di pasar Kajai dan Simpang Empat. Cukup terpandanglah mereka kala itu di kampung ini...”

Di sudut ruangan cicak kembali bersuara.

“Sekolah dasar mampu diselesaikan ibumu dengan baik. Demikian pula dengan abangnya, Safri mamakmu. Selesai sekolah dasar masuk pula mereka ke madrasah di Talu. Tapi hingga tingkat dua sekolah itu, ibumu diserang sakit berat. Kurus kering badannya hingga rontok rambut di kepalanya. Dua tahun lamanya ia putus sekolah dan tinggal di rumah ini. Sedihlah hati kakek nenekmu, terutama Safri abangnya. Bermacam orang pintar didatangkan ke rumah tak juga pulih sakitnya. Bermacam pula disebut-sebut sakitnya itu, dibuat oranglah, diganggu orang haluslah, dan lain-lain. Maklumlah di kampung ini namanya tahayul masih jadi kepercayaan orang. Sempat pula dibawa ke rumah sakit tapi angkat tangan pula dokter tak tahu apa nama sakit yang dideritanya. Habislah harta benda orangtuanya untuk membiayai sakit anaknya itu. Namun sebagaimana datangnya, begitupula perginya, setelah dua tahun kemudian hilanglah sakit itu tiba-tiba tak berbekas. Legalah hati kedua ayah ibunya. Setelah pulih dimasukkan lagi ia ke madrasah tempat semula ia bersekolah, tapi pihak sekolah menolak karena usianya telah dewasa dan banyak pelajarannya yang tertinggal. Akhirnya ia menganggur beberapa tahun lamanya. Hingga suatu hari berkenalanlah ia dengan seorang anak laki-laki pedagang kain yang datang dari Aceh. Itulah ayahmu. Kala itu ayahmu seusiamu sekarang. Masih muda belia, gagah. Ternyata diantara mereka tumbuh cinta kasih, lalu datanglah kedua orangtua dari ayahmu itu meminang kepada ninik mamak dari ibumu. Mengharap peruntungan sebagai orang dagang di negeri orang. Tapi keluarga ayahmu itu ditolak lantaran mereka miskin dan orang pendatang. Ninik mamak ibumu tidak menerima dengan alasan ada datang pinangan lain dari kampung sebelah,” ujar Mak Bujang.

Fikri terpekur mendengar cerita itu. Ia terhanyut dan seolah-olah dirinya ikut berada di zaman kala ibu dan ayahnya masih muda belia.

Lalu sambung Mak Bujang lagi, “Untung tak bisa diraih rugi tak bisa pula ditolak. Pulanglah orangtua dari ayahmu itu dengan rasa kecewa. Namun cinta ayah ibumu tak bisa dipadamkan, ibumu melanggar adat di kampung ini, dan tetap memilih ayahmu, lalu di suatu hari pergilah mereka berdua meninggalkan rumah dan kampung ini menempuh perjalanan menuju Medan. Dicari orang kesana kemari tapi tak jua bertemu. Hingga tiba surat diantar orang bahwa ibu dan ayahmu telah menikah di suatu tempat di Aceh. Atas kejadiaan itu, jatuh sakitlah kakek nenekmu karena malu menanggung aib. Beberapa tahun kemudian mereka berdua berpulang ke Rahmatullah…”

“Innalillahi wainna ilaihi raajiun…” Kalimat itu keluar dari mulut Fikri yang tampak bergetar. Haru ia mendengar cerita itu. “Lalu bagaimana dengan Mak Safri?”

“Itulah awal mula mengapa mamakmu itu jatuh sakit hingga kini. Adik yang disayangi pergi meninggalkan rumah, ayah dan ibu mati pula menanggung malu. Jatuhlah akal pikiran Safri. Dari hari kehari akalnya tak menentu saja. Kadang dilihat orang dia mandi-mandi di lubuk Batang Tantongar yang dalam dan berbatu. Kadang dia berteriak-teriak, kadang pula dilihat orang ia menangis sedu sedan, tapi lebih sering ia tertawa sendiri. Cemas orang melihat perangainya itu. Bahkan sempat beberapa kali orang menangkap tubuhnya yang hendak bunuh diri dengan membentur-benturkan kepalanya di batang pohon durian yang besar. Telah hilanglah akalnya, sebab menanggung derita yang berkepanjangan. Setiap kali ia tinggal di rumah ini, yang dikenang dalam pikirannya hanyalah ibu dan ayahnya yangtelah mati juga Munah adiknya itu. Bermacam obat sudah diberikan orang kepadanya tapi tak juga sembuh sakit yang dideritanya itu. Sekarang dia dipasung karena ia mulai mencoba mencelakakan orang di pasar. Suatu hari entah dari mana dapatnya, ditangannya telah ada sebuah pisau panjang. Dikejarnya semua orang di tengah pasar yang ramai, berhamburanlah seluruh isi pasar itu. Untunglah pemuda-pemuda yang pandai silat berhasil menundukkannya dan membuang pisau yang dipegangnya. Kalau tidak tentu banyaklah orang mati ia tikam dengan pisaunya yang tajam itu.”

“Dia juga sempat akan mencelakakan aku di rumah ini,” timpal Mak Tuo pula.

“Iya, benar. Sejak ayah ibunya tiada Mak Tuolah yang merawatnya di rumah ini karena Mak Tuo tidak bersuami dan beranak. Suatu hari sakit mamakmu itu kambuh dan merusak isi rumah. Hampir pula ditikamnya Mak Tuo dengan pisau dapur. Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin parah, bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu, dan orang kampung agar dia dipasung saja. Awal mula beberapa orang tidak setuju, namun mengingat mudharatnya lebih besar jika dia dibiarkan lepas, maka akhirnya musyawarah memutuskan ia dipasung dan diasingkan ke tengah hutan hingga sekarang. Pondok yang ditempatinya itu orang kampung yang membangun, aku dan Mak Tuo setiap hari yang menjaganya dan membawakannya makan minum.”

“Selama puluhan tahun itu Mak?” tanya Fikri tak percaya.

“Tidak juga. Kala ia tampak berubah akalnya, dan mulai baik gelagatnya, dia kami lepas. Hanya seputar itu saja mainnya. Kusuruh dia berkebun. Kalaulah kebun manggis itu tampak bersih dari ilalang, dialah yang membersihkannya. Akhir-akhir ini dia dipasung lagi karena sakitnya mulai kambuh lagi.” Jawab Mak Bujang.

“Apa tidak mungkin Mak Safri dibawa tinggal lagi di rumah ini Mak?”

“Itu sudah kesepakatan orang kampung. Kami tak punya kuasa. Kalau kata orang kampung dia boleh dilepaskan, kami akan lepaskan. Tapi kalau tidak, maka tak berani pula kami melanggar adat hasil keputusan mufakat dulu,” timpal Mak Bujang lagi. (bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]