-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (3)


Oleh Muhammad Subhan

Sekolah tingkat SMP diselesaikan Fikri dengan baik, begitu juga kedua adiknya, Rahmah dan Annisa. Jerih payah Manaf, sang ayahlah, membuat Fikri dan adik-adiknya bisa duduk di bangku SMA. Sebuah kebanggaan bagi orang tua itu bahwa dirinya yang buruh bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga sekolah menengah.

Tentu saja remaja itu gembira dapat mengecap pendidikan yang baik. Ia pun rajin belajar dan selalu mendapat peringkat sepuluh besar di sekolah. Fikri tak ingin menyia-nyiakan pengorbanan ayah dan ibunya. Bahkan selama SMP dan SMA ia tidak kenal pacaran, hal yang lumrah dilakukan anak-anak seusianya ketika itu.

Maka tak ada seorang gadis pun yang menambat hatinya. Ada juga kawan yang menjodoh-jodohkan dia dengan seorang teman sekelas, tapi ia tidak peduli. Memang, disaat itu perasaan cinta belum tumbuh pada dirinya. Tiada hari tanpa belajar dan kerja.

Di saat itulah Manaf ayahnya bercerita, bahwa jika di usia sekolah menjalin hubungan cinta dengan lawan jenis, akan merusak cita-cita. Dicontohkanlah perkawinan ayah dan ibunya. Kedua orangtuanya itu, masih usia SMP, sudah menjalin kasih. Hingga menjelang akhir kelas tiga, ayah dan ibunya meninggalkan kedua orang tua mereka lalu menikah di sebuah kota. Ayah dan ibunya nekat. Yah, itulah akibat cinta yang terjalin di usia belia. Tentu saja Manaf tak ingin hal seperti itu berulang pada anak-anaknya. Makanya ia tidak sungkan menceritakan pengalaman hidupnya yang pahit kepada Fikri dan adik-adiknya.

“Ayah ingin kau menjadi sarjana kelak, Fikri. Agar ada yang bisa ayah banggakan di rumah ini,” kata ayahnya suatu hari.

Harapan ayahnya itu pula yang ia sampaikan kepada Maimunah, ibunya beberapa hari menjelang ayahnya meninggal dunia. Tapi sang ibu malah memarahi remaja itu. Seolah Maimunah tak ingin ia kuliah. Padahal pikirnya, jika ia bisa menjadi sarjana kelak, tentu Maimunah pula yang akan bangga dan bahagia.

“Lebih baik kau kerja saja. Kan sudah tamat SMA. Bantu ibu dan ayah,” kata Maimunah suatu hari.

“Ya Bu, saya akan kerja, tapi saya ingin kerja sambil kuliah,” jawab Fikri.

Itulah sifat Maimunah, orang tua itu. Dia tidak ingin disanggah. Maka meledaklah marah Maimunah ketika itu. Tapi Fikri berusaha tetap bersabar menghadapi sikap ibunya. Ia sadar, sebagai anak ia harus tetap berbakti kepada orang tua.

Duhai, semua kenangan itu terbayang lagi di benak Fikri ketika sekarang ia berdiri di hadapan pusara ayahnya. Andai ayahnya mendengar kata-kata ibunya ketika itu, tentulah Manaf ayahnya akan sangat sedih. Cita-citanya ingin melihat Fikri melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, karena dua adik perempuannya, Rahmah dan Annisa telah menikah dan pendidikannya hanya sebatas SMA.

“Ayahanda, maafkan anakmu yang malang ini…,” hanya kata-kata itu yang mampu ia ucapkan di hadapan pusara ayahnya. Ia yakin ayahnya mendengarnya.

***

DUA

Sepeninggal suaminya almarhum Manaf, Maimunah ibu Fikri mulai sakit-sakitan. Ia tak bisa lagi mengambil upahan mencuci di rumah orang. Tangan dan kakinya diserang penyakit rematik dan asam urat akut. Urat-urat di tangan dan kakinya kaku. Persendian di tubuhnya pun ikut kaku. Kondisi itu membuat keluarga itu kehilangan tulang punggung yang selama ini menopang kebutuhan keluarga sejak Manaf tidak ada lagi.

Kondisi itulah yang merisaukan hati Fikri, remaja itu. Ia meratapi kemalangan hidupnya mengapa musibah selalu datang silih berganti mendera keluarganya.

Mendengar ibunya sakit, Annisa adik bungsu Fikri meminta agar Maimunah ibunya tinggal saja di rumahnya. Sebab ketika itu Annisa sedang mengandung tiga bulan. Dia membutuhkan ibu di rumah sebagai tempat bercerita, karena suaminya sering tugas keluar kota hingga ia merasa kesepian di rumah.

Mulanya Maimunah menolak karena ia sangat mencintai almarhum suaminya. Kalau tinggal jauh ia berpikir akan sulit menziarahi pusara suaminya. Tapi kondisi tubuhnya pun sudah memprihatinkan karena Maimunah tak lagi mampu berjalan jauh. Kalau mau duduk ia harus didudukkan dan jika berdiri harus diangkat pula tubuhnya. Kondisi itu mengharuskan perempuan itu lebih banyak istirahat.

Pemakaman umum tempat pusara almarhum Manaf bersemayam jaraknya lumayan jauh dari rumah kontrakan mereka. Tentu akan sangat merepotkan jika Maimunah sering datang berziarah ke sana. Lagi pula jika ia sering-sering berziarah ke pusara suaminya, hanya akan menambah kedukaan di hatinya saja. Perempuan itu akan mengenang masa-masa indah bersama suaminya dulu. Ia akan selalu menangis meratapi pusara suaminya dan kondisi itu membuat ia akan bertambah sakit karena menanggung beban pikiran dan perasaan. Maka Fikri sangat mendukung jika ibunya itu mau tinggal bersama Annisa adiknya.

“Lalu kau akan tinggal di mana? Mendiami rumah ini sendirian?” tanya ibu kepada Fikri yang selalu mendesak agar Maimunah, ibunya tinggal bersama adik bungsunya.

“Saya akan pergi merantau, Bu.” Jawab Fikri.

“Lagi-lagi merantau. Ke mana kau hendak pergi?”

“Ke Padang.”

“Ke Padang? Sejauh itu? Selama ini kau belum pernah merantau, Fikri. Apa yang akan kau kerjakan di kota sebesar itu?” Lagi-lagi Maimunah meragukan tekad remaja itu.

“Ibu, saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah besar. Saya akan berusaha bekerja apa saja asalkan saya bisa kuliah.”

Perempuan itu diam. Ia tentu sudah sangat bosan mendengar kata-kata kuliah yang selalu diucapkan Fikri anaknya. Mungkinkah seorang anak buruh dan anak tukang cuci bisa meraih gelar sarjana di bangku kuliah? Mungkin begitu pikiran perempuan itu. Dan dalam hati remaja itu menjawab, bisa! Ya, harus bisa. Ia anak laki-laki. Ia punya tenaga dan pikiran. Dan yang lebih berharga dari itu ia punya ijazah SMA yang akan memudahkan ia mendaftar di perguruan tinggi.

Setelah pembicaraan di hari itu, beberapa hari kemudian Maimunah akhirnya memutuskan ikut Annisa anak bungsunya untuk tinggal di rumahnya. Rumah kontrakan yang selama ini ditempati bersama almarhum suaminya pekan depan habis masa sewanya. Mereka pun tidak memperpanjangnya lagi. Mereka telah sepakat menjual beberapa perabotan peninggalan almarhum Manaf yang kira-kira laku dijual. Itupun tidak banyak, hanya berupa buah kursi tua, lemari, televisi hitam putih, tempat tidur dan beberapa peralatan dapur. Semua dijual dengan harga murah kepada tetangga. Uang hasil penjualan sebagian diberikan Fikri kepada ibunya dan sebagian lagi ia gunakan sebagai bekal merantau ke Padang, kota yang seumur hidup belum pernah ia injakkan kaki di sana.

Kota Padang hanya ia kenal namanya dalam roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yang bukunya pernah ia baca di perpustakaan SMP dulu. Lebih dari itu tidak. Di peta pun ia tidak pernah memperhatikan Kota Padang. Namun entah kenapa hatinya tergerak benar ingin kuliah di sana. Ia hanya mendengar di sana ada perguruan tinggi yang cukup bagus dan banyak meluluskan sarjana-sarjana tangguh di bidangnya.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]