-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (10)


Oleh Muhammad Subhan

Tak lama kemudian tibalah perempuan tua itu dari dapur. Dibawanya dua cangkir teh hangat dan dihidangkannya di atas meja. Dipersilakannya anak muda itu minum, lalu tak lama kemudian muncullah dari arah beranda rumah seorang lelaki berusia sekitar 50an tahun. Pakaiannya tampak sedikit kotor terkena percikan lumpur, sepertinya ia baru pulang dari sawah.

“Bujang. Bujang, kemarilah kau. Lihatlah ini anak Munah datang…,” seru perempuan tua itu kepada lelaki yang berdiri di pintu. Mendekatlah lelaki yang dipanggil Bujang itu ke arah Fikri duduk.

“Benarkah kau anak Munah, wahai Buyung*)? Dimana ibumu sekarang? Masih hidupkah dia?” tanya lelaki itu.

Fikri berdiri menyalami lelaki itu dengan takzimnya. “Iya, mamak. Saya anak lelaki dari ibu saya Maimunah. Alhamdulillah, ibu saya masih sehat walafiat, sekarang ikut adik perempuan saya yang bungsu tinggal di rumahnya di Banda Aceh,” ujar Fikri.

“Oh, kalian tinggal di Aceh?” tanya perempuan tua tadi. “Lalu bagaimana dengan ayahmu?”

“Ayah saya telah meninggal dunia Mak. Ibu saya telah sakit-sakitan pula. Untunglah adik saya yang merawatnya. Dan, kedatangan saya ke kampung ini, membawa amanah dari ibu saya itu bahwa ia masih sehat walafiat dan ingin saya kabarkan kepada abang ibu saya, Mak Safri. Dimanakah mamak saya itu Mak?”

Lelaki yang bernama Bujang memandang ke arah perempuan tua di sebelahnya. Tampak seraut wajah sedih di antara keduanya. “Bagaimana ini Mak Tuo**)? Telah tiba waktu kita menyampaikan ini kepada Munah, dan sekarang anaknya hadir pula di rumah kita,” kata Mak Bujang. Perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan Mak Tuo itu hanya terpekur saja.

“Wahai Buyung, siapakah namamu?” tanya Mak Bujang.

“Saya Fikri Mak.”

“Oh, Fikri. Apa rencanamu sesudah ini? Apakah kau akan kembali ke Aceh dan membawa ibumu pulang ke kampung ini?”

“Entahlah Mak. Sejujurnya, selain saya hendak bertemu dengan Mak Safri mamak saya itu, saya juga ingin meneruskan perjalanan nanti ke Padang. Saya hendak kuliah di sana Mak. Itu cita-cita saya. Sekolah saya di Aceh sudah tamat.”

“Baiklah, sebelum kau tahu tentang Safri, mamakmu itu, abang kandung ibumu, ayolah saya bawa engkau ke kebun belakang.” Kata Mak Bujang kemudian.

“Baik mamak.”

Anak muda itu menurutkan langkah Mak Bujang turun rumah dari pintu samping. Sementara Mak Tuo perempuan tua tadi hanya melepas mereka pergi. Entah apa maksud Mak Bujang membawa Fikri ke kebun belakang. Hal ihwal Mak Safri mamak yang dicarinya itupun belum diceritakan sepenuhnya kepada dirinya. Tapi ia turutkan juga langkah Mak Bujang. Penasaran dirinya ada apa gerangan di kebun belakang rumah itu.

Setelah turun di belakang rumah, beberapa meter jaraknya dari rumah itu, tampaklah ia anak sungai berbatu yang mengalirkan air yang tidak terlalu deras. Bening sekali anak sungai itu. Beberapa ekor anak ikan berlarian di dasarnya di antara celah-celah bebatuan. Cepat ia paham kalau anak sungai itu merupakan aliran Batang Tantongar yang saat di dalam bis sebelum turun ia pandangi sungai itu. Sementara di sekelilingnya terhamparlah pohon-pohon durian dan pohon manggis yang berbuah lebat dan beratus-ratus batangnya. Kebun itu cukup terawat karena semak-semak yang merusak pemandangan tidaklah terlalu menggangu perjalanan mereka.

Fikri terus melangkah mengikuti Mak Bujang yang berjalan di depannya. Tampaklah ia kalau tubuh Mak Bujang itu cukup cekatan, mudah saja ia melompat dari satu batu ke batu lainnya meski batu-batu itu tampak berlumut dan licin. Tubuhnya tegap dan kekar meski kulitnya berwarna hitam kecokelatan karena sering terbakar terik matahari. Golok panjangnya terselip dipinggang yang diikat dengan kain sarung berwarna biru tua berkotak-kotak.

Beberapa saat kemudian sampaikan Fikri dan Mak Bujang di pinggiran hutan di sebuah perbukitan. Pohon pohon manggis yang lebat tumbuh di sana sini. Sementara di tengah-tengah kawasan itu tampaklah sebuah pondok berukuran kecil, berdinding papan dan beratap daun rumbia. Entah siapa yang menghuni pondok itu. Terpencil sekali di tengah kebun manggis yang rimbun.

“Pondok siapa ini mamak?” tanya Fikri kemudian setelah beberapa lamanya mereka berdua diam.

“Inilah pondok mamakmu. Mak Safri,” jawab Mak Bujang.

“Pondok Mak Safri? Kenapa mamak saya tinggal di pondok ini mamak? Tidak punyakah ia rumah?” tanya Fikri heran.

Sesaat Mak Bujang diam. Ia tak segera menjawab. Dengan isyarat matanya ia mengajak Fikri masuk ke dalam pondok itu. Terkuaklah pintunya dengan suara engsel berkarat yang berderit-derit suaranya. Setelah pintu itu terbuka tampaklah di mata anak muda itu sesosok tubuh kurus yang terbaring lemah di sebuah dipan kayu beralaskan tikar lusuh. Tubuhnya hanya memakai kaos yang berwarna usang. Matanya terpejam, mulutnya menganga, seperti sedang tidur pulas. Kedua kakinya… di kedua kakinya itu… terikat dua buah rantai besi melingkari pergelangan kakinya. Oh, tubuh yang terbaring lemah itu kedua kakinya dipasung.

“Duhai Mak Bujang, apa gerangan yang terjadi ini? Kenapa Mak Safri dipasung? Sejak kapan hal ini terjadi terhadap diri beliau? Benarkah ini Mak Safri mamak saya?” bergetar bibir anak muda itu mengucapkan kata-kata tidak percayanya kepada Mak Bujang yang berdiri disampingnya tentang apa yang ia lihat. Berkaca-kacalah kedua matanya yang memancarkan rasa iba cukup mendalam. Tidak tega ia melihat pemandangan yang menyedihkan itu.

Mak Bujang yang ditanya hanya menunduk saja. Mulutnya terkatup rapat. Seolah ia tak mampu menjelaskan hal ihwal keadaan yang menimpa diri Mak Safri itu. Fikri sendiri tak habis pikir kenapa perjumpaannya dengan saudara ibu kandungnya itu untuk pertama kali di tanah kelahiran ibunya disambut dengan pemandangan yang sangat memiriskan. (bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan


*) Buyung = Sapaan untuk anak laki-laki di Minang
**) Mak Tuo = Kakak perempuan dari pihak ibu
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]