-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (7)


Oleh Muhammad Subhan

Asyik benar Fikri dan ibu yang duduk disebelahnya itu bercakap-cakap. Bis terus melaju di jalan yang seolah tak berujung. Setelah lama bercerita-cerita tahulah Fikri kemudian bahwa perempuan seusia ibunya itu bernama Bu Aisyah.

Dari cerita ibu itu tahu pula Fikri sedikit banyak tentang kota Padang yang selama ini hanya didengarnya saja dari mulut orang-orang yang pernah ke sana. Fikri juga lebih mengenal dekat keluarga Bu Aisyah yang ternyata pernah menetap di Takengon sebelumnya. Takengon adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Aceh Tengah yang berada di dataran tinggi Gayo-Alas yang berhawa sejuk dan memiliki panorama kabut nan indah setiap pagi maupun malam hari. Di daerah ini pula terbentang luas sebuah danau yang dikenal orang-orang sebagai Danau Laut Tawar. Fikri sempat dua tiga kali ke sana ketika ia studi wisata bersama kawan-kawan sekolahnya dulu.

Menurut Bu Aisyah pula, suaminya telah lama meninggal dunia. Suaminya itu seorang ulama. Dari perkawinan mereka lahirlah tiga orang anak, semuanya perempuan. Seorang diri saja dia pulang ke Takengon, semata menjenguk anak sulungnya yang telah berkeluarga dan dianugerahi seorang putra.

Semasa di Takengon Bu Aisyah pernah bekerja sebagai guru agama di sebuah madrasah aliyah. Konflik Aceh yang berkepanjangan membuatnya harus hijrah dari kota itu dan memilih Padang sebagai tempat menetapnya. Malang tak dapat ditolak mujur tak pula bisa diraih, beberapa tahun di Padang meninggallah sang suami lantaran sakit uzurnya.

Maka jadilah ia sebagai ibu yang merangkap kepala keluarga. Berat benar badai cobaan hidupnya di awal-awal ditinggal mati sang suami. Anak-anak masih kecil pula dan harus ditanggung nafkahnya setiap hari. Untunglah sang suami meninggalkan sebuah rumah sebagai tempat mereka berteduh. Di rumah itu pula, dibukanyalah Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan mengajarkan anak-anak tetangganya mengaji. Benarlah janji Tuhan, siapa yang berusaha pasti selalu ada jalan. Satu kesulitan diberi dua kemudahan. Dari hari kehari terus bertambahlah murid-murid pengajiannya. Tak hanya tetangga-tetangganya saja yang memasukkan anak-anak mereka mengaji di rumahnya, tapi juga anak-anak dari kampung sebelahnya. Tak lama kemudian, dibukanya pula majelis taklim buat ibu-ibu rumah tangga yang tak bekerja diluar rumah. Setiap petang Jumat digelarlah taklim itu, diundangnya seorang guru lalu mengajilah mereka bersama-sama.

Dari usahanya itu terbukalah pintu rezekinya diberikan Tuhan. Banyaklah orang-orang menaruh simpatik dan membantunya. Tak ada uang beras pun di antar orang. Pokoknya periuknya di dapur tak pernah kosong dari beras yang dibawa orang. Tungkunya terus berasap. Tentramlah hatinya mengajarkan ilmu agama kepada orang awam dan anak-anak yatim yang tak mampu masuk ke sekolah-sekolah agama yang mahal-mahal harganya.

Saat ini anaknya telah besar-besar. Yang Sulung tinggal di Takengon, yang nomor dua ikut suaminya di Jakarta, dan yang bungsu masih kelas dua sekolah aliyah dan tinggal bersamanya. Putri bungsunya itu bernama Manna Rahima.

Asyik benar Fikri mendengarkan cerita Bu Aisyah, perempuan di sebelahnya. Larutlah ia dalam cerita ibu itu. Hingga kemudian Bu Aisyah balik bertanya kepadanya tentang asal usulnya.

“Kalau ibu boleh tahu apa tujuan anak ke Padang. Oh ya, siapa nama anak?” tanya Bu Aisyah yang membuyarkan lamunan anak muda itu.

Guguplah Fikri atas pertanyaan ibu itu. Tapi karena ia telah merasa dekat dengan ibu itu tak canggunglah dia bercerita tentang asal usulnya.

“Fikri, Bu.” Katanya kemudian menyebutkan namanya.

Lalu diceritakanlah sejak mula ia ditimpa kematian ayah, tinggal di sebuah kampung di pesisir Aceh, dan segala cerita tentang penderitaannya serta segala cita-citanya yang indah-indah namun belum tercapai. Ibalah hati perempuan yang duduk di sebelahnya itu mendengar semua kisahnya. Tanpa disadari Fikri orangtua itu telah meneteskan air mata lantaran sedihnya mendengar segala kisah tentang penderitaannya.

Hati siapa yang tak menaruh belas kasihan kepada anak muda itu karena ia seorang muda remaja yang polos, jujur, lembut tutur katanya, dan takzim kepada orangtua. Bu Aisyah salah seorangnya yang ikut merasakan penderitaan anak muda itu.

“Duhai anak, segala ceritamu itu menyedihkan hati ibu. Berat benar segala cobaan derita yang kau tanggung. Ibu hanya bisa berdoa semoga kelak hidupmu akan beruntung, penuh kebahagiaan,” ujar Bu Aisyah kepada anak muda itu.

“Amin, terima kasih Bu. Maafkanlah saya jika ibu ikut bersedih atas cerita saya,” jawab Fikri kemudian. Takzim benar ia.

“Ah, tidak. Ibu hanya bangga kepadamu, semuda ini kau telah memilih sebuah keputusan yang menentukan masa depanmu.”

“Semoga Allah meridhai Bu…”

“Amin.”

Sejenak diamlah mereka berdua. Entah apa yang mereka pikirkan kemudian. Bis terus melaju. Yang terdengar hanya deru mesinnya bagaikan melodi yang tak tentu iramanya mengiringi perjalanan itu. Banyak kota dan kampung yang telah mereka lewati. Hingga bis memasuki sebuah daerah berhutan lebat, sementara nun di kejauhan tampaklah sebuah gunung yang menjulang seolah mencakar birunya langit.

“Wahai anak, akan tibalah sebentar lagi anak di Pasaman. Lihatlah nun di sana, puncak Gunung Talamau telah tampak. Itulah gunung kebanggaan orang Pasaman,” kata Bu Asiyah memecah keheningan di antara mereka.

Melongoklah Fikri ke jendela bis dan tampaklah ia dari kejauhan Gunung Talamau yang disebut Bu Aisyah. Ketika memandang gunung itu tersiraplah darahnya. Seolah ada kekuatan gaib yang menghentak jiwanya. Takjublah ia memandang gunung itu. Selama tinggal di kampung pesisir Aceh, yang ia lihat hanyalah birunya laut. Tak ada gunung di sana. Namun sekarang tampaklah di kedua matanya sebuah gunung yang besar, diselimuti belantara yang lebat, di kakinya akan disinggahinya nanti kampung kelahiran ibu kandungnya. Ya, di kaki gunung itulah ibunya dilahirkan. Ibunya orang minang. Artinya dia orang minang pula. Dia telah mendengar dari pelajarannya di sekolah dulu bahwa Minangkabau menganut sistem perkawinan menurut garis ibu. Matrilineal kata orang, karena itu garis turunannya mengikuti ibunya.

Tapi ketika ia mengingat ibunya orang terbuang, sedihlah hatinya. Terbayang dibenaknya akankah sanak familinya di kampung itu dapat menerima kehadirannya dengan baik. Ataukah ia akan menjadi orang terusir pula nanti. Dan tak tahu pula dia apakah Mak Safri yang disebut ibunya itu masih ada di kampung dan dapat menerimanya pula. Andai mamaknya itu tak ada lagi habislah segala harapannya. Tapi tekadnya telah bulat, dia harus melihat kampung ibunya itu. Agar tahu pula ia dimana negeri ibunya berasal.

“Kenapa anak termenung? Bukankah senang hati anak bahwa sebentar lagi anak akan melihat kampung ibu anak?” Bu Aisyah membuyarkan lamunan anak muda itu.

Terjagalah ia dari lamunannya. Segala yang sedih-sedih di hatinya yang baru sesaat tadi hadir dalam benaknya cepat-cepat ia buang. “Tidak ibu, hati siapa yang tidak gembira jika dapat menziarahi kampung ibunya?” kata ia kemudian.

“Syukurlah. Ibu kira ada pikiran yang membuat rusuh hatimu,” kata perempuan itu lagi.

Fikri hanya menyambut kata-kata Bu Aisyah itu dengan senyum. Dipalingkannya lagi kepala sejenak ke luar jendela, memandang indahnya Gunung Talamau dari kejauhan yang berselimut kabut lembut. Besar benar kuasa Tuhan yang menciptakan pasak bumi itu.

“Oh ya, nanti suruhlah sopir berhenti di Simpang Panti. Di sanalah anak berganti bis menuju Kampung Kajai yang anak sebutkan itu.”

“Terima kasih ibu. Besar benar jasa ibu buat saya.”

“Ibu berharap, jika nanti anak singgah juga ke Padang, datangah ke rumah ibu. Ini ada alamat yang bisa anak simpan. Suatu saat jika anak butuh bantuan ibu, janganlah sungkan mengatakannya.” Bu Aisyah menyerahkan secarik kertas bertuliskan alamat rumahnya di Padang. Kertas itu diterima Fikri.

“Insya Allah. Semoga ada untung saya dapat melihat-lihat kota Padang dan dapat pula singgah di rumah ibu,” ujar Fikri.

Disimpannya kertas berisi alamat rumah bu Aisyah ke dalam saku bajunya. Tak lama kemudian, kondektor bis berteriak bahwa telah sampailah bis itu di Simpang Panti. “Apa ada yang turun di Simpang Panti?”

“Saya di Simpang Panti,” kata Fikri kepada kondektur itu.

Berpisahlah Fikri dengan perempuan yang baik itu. Berjabat tanganlah mereka dan Fikri menyambutnya dengan takzim. Dikemasinya barang-barang bawaannya turun bis. Dari dalam bis tampak Bu Aisyah memandang kepada anak muda itu. Semakin ibalah ia melihat nasib yang ditanggung anak malang yang datang dari Aceh itu.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]