-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (8)


Oleh Muhammad Subhan

TIGA

Di Simpang Panti itulah beberapa saat lamanya anak muda yang datang dari Aceh itu berdiri bermenung memandang jauh ke arah Gunung Talamau berselimut kabut yang menyembul puncaknya di antara rimbunnya belantara luas. Itulah belantara Rimbo Panti yang terkenal di Pasaman. Terlompatlah kata syukur di bibirnya bahwa ia telah tiba di tanah Pasaman meski ia harus menumpang bis lagi agar bisa ke kampung halaman ibu kandungnya di Kajai.

Hampir sejam lamanya ia berdiri bermenung di simpang itu. Sebuah bis tujuan Kajai sedang parkir menunggu penumpang. Belum penuh rupanya. Ia akan menumpang bis itu. Menunggu bis jalan asyik benar ia melihat-lihat pemandangan di sekitar daerah itu yang tidak terlalu ramai namun banyak juga aktivitas orang, diantaranya para pedagang yang membuka kios-kios kecil di pinggiran jalan menjajakan beragam makanan. Dibelinya beberapa minuman mineral, diteguknya air itu secukupnya sebagai penghilang dahaga lalu berjalan ia ke dalam bis. Terdengarlah teriakan sopir dan kondektur yang menyorakkan kepada penumpang yang berada di bawah untuk segera naik karena bis itu segera jalan.

Duduklah Fikri di bangku paling depan sebelah sopir sehingga bebaslah ia memandang ke arah luar. Kepada sopir telah ia pesankan agar ia diturunkan di Pasar Kajai jika telah tiba nanti. Sopir mengangguk paham. Lalu tak lama kemudian berangkatlah bis itu meninggalkan Simpang Panti.

Di sepanjang jalan yang membelah Rimbo Panti dilihatnyalah bermacam pemandangan yang tidak ia dapatkan ketika masih tinggal di kampung pesisir Aceh. Di kiri kanan jalan ia lihat ladang-ladang penduduk yang luas. Jalan berkelok-kelok. Sawah berundak-undak terhampar di lereng-lereng perbukitan yang ceruk. Bermacam pohon ia lihat, besar-besar batangnya dan lebat-lebat daunnya. Di kiri kanan jalan dilihatnya pula jurang lebar yang cukup dalam. Tak dapat ia bayangkan jika bis yang ia tumpangi itu terjatuh ke dalam jurang lalu tewaslah seluruh penumpangnya. Ngeri ia membayangkan dan enggan memandang ke dalam jurang itu.

Sesekali tampaklah di matanya sekawanan beruk melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Beberapa di antara beruk itu bermain-main pula di pinggiran jalan. Bergelut dengan riangnya. Ketika ada penumpang bis itu yang melemparkan makanan dari sisi kaca jendela, berebutanlah para beruk itu. Lucu benar gaya mereka. Tapi mereka tertib tampaknya. Beruk yang satu dapat makanan, beruk yang lain tak mau pula merampasnya. Ditunggunya lagi penumpang lainnya di dalam bis melemparkan makanan ke arah mereka.

Asyik benar Fikri memandang semua panorama itu. Sesekali tersenyumlah ia melihat kepada sekawanan beruk-beruk yang bermacam tingkah polahnya itu. Seekor bayi beruk tampak di matanya tertidur lelap dalam gendongan induknya yang ikut berebutan makanan ketika penumpang dalam bis melemparkan kacang-kacangan. Damai benar agaknya bayi beruk itu dalam pelukan induknya. Binatang saja tahu kasih sayang kepada anak, konon pula manusia. Tapi saat ia baca di suratkabar ada seorang ayah atau seorang ibu yang membuang bayinya, tersentuhlah hatinya. Tega benar perlakuan orangtua yang demikian. Kadang pula ia berpikir kenapa manusia lebih kejam dari binatang.

Ah, di kala ia melamun itu teringatlah peruntungan nasibnya sekarang. Ia sendiri, tak punya siapa-siapa. Bisa disebut sebatang kara di perantauan. Bagaimana nasibnya di masa mendatang tak tahulah ia, karena pemandangan itu masih jauh di pelupuk matanya. Sekarang ia menuju kampung halaman ibunya yang hanya sedikit saja ia dapat cerita dari ibunya tentang kampung itu. Akankah ia menemukan peruntungannya di sana. Disambut keluarga mamaknya, lalu bisa meneruskan cita-citanya untuk kuliah di Padang. Entahlah. Kadang teringat pula ia kepada almarhum ayahnya dahulu yang menaruh harapan besar kepadanya agar nasibnya lebih baik dari kedua orangtuanya. Tatkala mengenang wajah teduh ayahnya yang penuh penderitaan itu jatuhlah air matanya. Berlinang-linang membasahi pipi. Tapi tangisnya itu disembunyikannya saja sehingga penumpang yang duduk di bangku sebelahnya tak tahu kalau ia menangis. Wajahnya dibuangnya menatap luar jendela bis sehingga tak tampaklah kedukaan di wajahnya yang muda belia itu.

Nun di kiri kanan jalan tampak pula rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar televisi tatkala siaran berita wisata. Sungguh tak terbayang ia kalau saat ini tubuhnya berada di ranah minang yang sungguh elok pemandangan alamnya.

Teruslah bis itu melaju. Banyaknya jalan berkelok dan tikungan tajam, menurun dan mendaki membelah Rimbo Panti menyebabkan bis yang ditumpangi anak muda itu berjalan lambat. Angin dari perbukitan yang masuk dari sisi kaca jendela bis menyapu wajahnya dan ia rasakan sangat sejuk. Belaian angin gunung itu membuat matanya mengantuk. Tapi ia bulatkan hati untuk tidak tidur. Ia ingin melihat-lihat alam di sekitar Rimbo Panti yang sungguh luas itu. Ibunya pernah bercerita bahwa almarhum kakeknya dari Kajai pergi merantau berjalan kaki menembus belantara lebat Rimbo Panti. Merantaunya ke Medan berdua bersama neneknya. Tentu jauhlah jarak perjalanan kakek neneknya itu. Tak terbayang beratnya perjalanan. Di dalam rimba lebat ditemuinyalah bermacam makhluk jadi-jadian. Di hutan itu terkenal benar dengan cerita Cindaku, yaitu harimau jadi-jadian yang bisa berubah wujud jadi manusia. Bermacam hantu pun ditemuinya. Tapi karena niat kakek neneknya tulus semua makhluk-makhluk itu tidaklah mengganggunya hanya menampakkan rupa saja.

Merindinglah bulu kuduk Fikri mengingat cerita ibunya itu. Dan sekarang ia berada di tengah-tengah Rimbo Panti yang pernah dijelajahi almarhum kakek neneknya dulu. Untunglah ia berada di dalam bis bersama belasan penumpang lainnya, sehingga sedikit berkuranglah rasa takutnya itu. Kalaulah ia berjalan sendirian meski di siang hari mungkin kecut juga hatinya. (bersambung) Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]