-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Jumat, 23 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (15)


Oleh Muhammad Subhan

GENAP dua bulan sudah Fikri menetap di kampung ibunya di Kajai. Setiap hari kerjanya membantu Mak Bujang turun ke sawah, menyiangi ladang cabai yang ditanami Mak Tuo di belakang rumah gadang, juga mengurus segala keperluan mamaknya, Mak Safri, yang hidup terpasung di tengah kebun manggis sana. Sekali-sekali ia bermain ke pasar, khususnya di hari pekan yang ramai, melihat-lihat segala dagangan yang dijual orang. Meski ia tak membeli namun lepaslah kesukaan matanya melihat-lihat keramaian orang yang bermacam tingkah polahnya menjual, menawar, dan membeli barang dagangan.

Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu. Ketika masuk waktu sembahyang pergilah ia ke surau, shalat lalu mengaji sejam dua jam lamanya. Kadang pula ia pergi ke tanah lapang, dilihatnya anak-anak muda bermain sepakbola atau sepak takraw yang sangat digemari di kampung itu. Kadang pula ia ikut menonton pencak silat di halaman surau yang diajarkan seorang guru silat. Pandai benar ia bergaul, sehingga cepatlah ia punya banyak kawan yang meriangkan hatinya.

Namun demikian, tak selamanya orang yang berniat baik disambut baik pula oleh orang lain. Bak kata orang bijak, dimana ada Muhammad disana ada pula Abu Jahal. Ada-ada saja orang yang tidak senang dengan kehadirannya dan berniat buruk pula kepada dirinya. Tanpa diketahuinya, beberapa orang pemuda telah bermufakat di sebuah rumah membincangkan cara dan siasat untuk mengusirnya dari kampung itu. Sebab menurut hemat mereka, kehadiran anak muda itu hanya akan membawa aib dan malapetaka saja di kampung mereka, dan dikhawatirkan akan mengganggu anak-anak gadis yang tampak mulai curi-curi pandang terhadap diri anak muda itu.

Tentulah siapa yang tak suka dengan anak muda yang perawakannya gagah layaknya ayahnya yang orang Aceh itu. Hidung bangir dan mancung, rambut ikal, mata teduh. Sopan pula tutur katanya, rajin sembahyang dan mengaji, pandai bergaul, dan sangat takzim pula kepada orangtua. Sejak kedatangannya di kampung itu, banyaklah anak-anak gadis yang muda remaja diam-diam memperbincangkan dirinya di tepian mandi kala mereka mencuci pakaian. Di surau pun ketika ia mengumandangkan azan dengan suaranya yang merdu ramailah surau itu dengan anak-anak gadis. Meski disadarinya anak-anak gadis itu mencuri-curi pandang kepadanya, tapi insyaflah ia bahwa ia orang pendatang di kampung itu. Tak ingin ia salah langkah dan berbuat yang tidak sesuai norma agama. Semua pemandangan yang indah-indah dan penuh harap dari gadis-gadis belia itu tak ia pedulikan. Dilengah-lengahkannya saja pandangan dan cepat ia beranjak pulang jika gadis-gadis itu mencoba mendekat dan berbicara kepadanya.

“Cacat apa yang akan kita ungkap kepada anak muda itu, sementara selama dia di sini tak tampak ganjil perilakunya?” tanya seorang pemuda berbadan kurus yang duduk di sudut ruangan rumah itu.

Jumlah pemuda yang bermufakat malam itu ada sekitar sebelas orang. Mereka telah mafhum tentang hal ikhwal anak muda itu setelah mereka mendapat informasi dari sejumlah orang yang tua tua yang hidup sezaman dengan ibunya. Segala keburukan ibunya dulu diungkapkan mereka dan menjadi dalil pula untuk mengusir anak muda itu. Mereka berburuk sangka jangan-jangan Fikri akan melarikan pula anak gadis di kampung itu seperti perbuatan ayah ibunya dulu.

“Memang belum kita temukan cacat celanya kini, tapi kita sudah melihat gelagat kurang sehat dari anak-anak gadis di kampung ini yang mulai curi-curi perhatian kepadanya,” sela pemuda berkumis.

“Itu masalahnya, tak tampak kita cela dan buruk si Fikri itu. Lalu bagaimana kita punya alasan untuk mengusirnya dari kampung ini? Atau kita celakakan saja dia di kebun manggis sana dekat gubuk mamaknya yang hilang akal itu?” usul pemuda lainnya.

“Bagus juga usul itu. Kita celakakan saja dia!”

“Tidak, aku tidak setuju,” tiba-tiba seorang pemuda berkulit hitam berdiri mengacungkan tangan ketidaksetujuannya atas niat buruk kawan-kawannya itu.

“Mengapa pula kau yang tak setuju? Bukankah kau diundang karena kau pula yang ikut mengusulkan agar si Fikri itu diusir dari kampung ini?” sanggah pemuda di sebelahnya.

“Atau karena kau cemburu si Halimah pacarmu itu akan direbutnya nanti?” timpal pemuda berbadan gemuk. Pecahlah tawa mereka semua, mentertawakan kebodohan si pemuda berkulit hitam itu.

“Bukan, bukan itu maksudku. Aku setuju dia diusir dari kampung ini, tapi aku tidak setuju kalau kita mencelakakan dia. Apa salah dia?”

“Ah, kau sok munafik pula!” sanggah yang lainnya.

Panjanglah perdebatan malam itu. Mereka mempertahankan pendapat masing-masing, dan sebagian besar setuju agar anak muda yang datang dari Aceh itu diusir dari kampung itu meski ia tinggal di rumah ibunya sendiri, di kampung halaman ibu kandungnya. Alasan yang diapungkan mereka hanya ketakutan saja kalau-kalau anak muda itu akan membuat sejarah berulang seperti yang pernah dilakukan ayah ibunya dulu, mendatangkan aib di kampung beradat itu.

“Baiklah, kita sepakat mengusir anak itu dari kampung ini. Esok siang, kau Muin dan kau Leman, pergilah ke kebun manggis dekat gubuk mamaknya yang gila itu. Cegat dia disana. Cederai dia, tapi jangan kalian bunuh. Biarkan dia hidup dan jera lalu dia akan pergi meninggalkan kampung ini nanti karena kehadirannya tidak dikehendaki,” ujar pemuda yang lebih tua diantara mereka.

Tak ada yang menyela, diam. Semua mengangguk. Si pemuda berkulit hitam yang membela tadi juga ikut diam. Namun perasaannya tidak enak, dan tampak cemaslah wajahnya. Kemarin dia memang ikut menyutujui usulan mengusir Fikri dari kampung itu, tapi batinnya menolak kalau anak muda yang baik budi itu harus dicelakai tubuhnya.

Bubarlah rapat gelap yang dihadiri pemuda-pemuda malam itu. Mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing dengan hati menyimpan bara dendam ingin mencelakakan anak muda yang sudah dua bulan tinggal di kampung mereka. Hanya si pemuda berkulit hitam yang melakukan pembelaan tadi yang masih diselimuti perasaan was-was dan kasihan terhadap Fikri. Maka ketika kawan-kawannya pulang ke rumah masing-masing, malam itu juga dia mengendap-endap menyisiri jalan setapak yang hanya disinari cahaya bulan menuju rumah Fikri, akan menemui anak muda itu dan melaporkan segala rencana buruk kawan-kawannya yang akan mencelakakan dirinya.

Setengah jam kemudian sampailah ia di bilik samping rumah gadang tempat tinggal Fikri. Dilihatnya rumah gadang itu telah gelap, hanya bilik Fikri yang tampak masih bersinar lampu minyak. Sayup-sayup terdengar suara anak muda itu di dalam membaca Alquran dengan suara sangat merdunya. Lama pemuda berkulit hitam itu menekur di bawah rumah menunggu Fikri selesai membaca Quran. Berkaca-kaca matanya mendengar ayat demi ayat yang dilantunkan pemuda itu dengan penuh khusyuknya. Timbul rasa kasihannya dan bersalah karena telah ikut menyetujui pengusiran anak muda itu dengan cara buruk seperti disepakati kawan-kawannya.

Tak lama kemudian terdengarlah ia anak muda di dalam bilik itu usai membaca Alquran. Merapatlah ia ke dinding di bawah jendela. Lalu pelan ia ketuk daun jendela itu, sembari memanggil-manggil nama anak muda itu. “Fikri, Fikri… Bukakan jendela ini,” katanya berbisik namun cukup terdengar suaranya oleh orang di dalam bilik.(bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]