-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Sabtu, 17 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (6)


Oleh Muhammad Subhan

Lama juga anak muda itu terlelap dalam tidurnya. Hingga bis yang ditumpanginya memasuki kota Medan yang semarak barulah ia terjaga. Hari telah malam rupanya. Kota Medan yang ramai dan padat penduduk itu terlihat hidup dan gemerlap meski malam kian gelap. Lampu-lampu jalan terang benderang. Sepanjang jalan ramai berlalu lalang berbagai macam kendaraan. Toko-toko di pinggiran jalan raya bagai tak pernah tidur hingga pagi. Kota yang luar biasa.

Anak muda itu tampak masih mengantuk. Sejenak saja ia melihat-lihat kota Medan dari balik kaca jendela bis yang ia tumpangi. Tak lama kemudian tertidurlah ia kembali dengan nikmatnya. Duduk berlama-lama di kursi bis itu membuatnya bertambah mengantuk saja. Dalam tidur itu hadirlah mimpinya bertemu ayahnya yang berwajah sangat cerah. Ayahnya tersenyum memandang kepadanya.

Sejak mula menaiki bis tak sadar anak muda itu bahwa ada seorang ibu duduk di sebelahnya. Saat ia terjaga ibu itu asyik benar memandang wajah pemuda itu. Tergambarlah di matanya penderitaan yang dialami penumpang yang duduk di sebelahnya. Hingga subuh tiba, usai salat di sebuah rumah makan tempat perhentian bis, dibangunkannyalah anak muda itu.

“Nak, bangun. Kau belum salat subuh,” ujar perempuan itu.

Sadar ada orang yang membangunkannya, terjagalah Fikri, anak muda itu. Dipandanginya sejenak wajah orang tua itu. Dikira-kiranya saja kalau perempuan itu seusia ibunya. Ibu itu memakai kerudung dan tersenyum kepadanya.

“Nyenyak sekali tidurmu, Nak, sampai subuh hampir lewat,” kata ibu itu lagi.

Fikri tersenyum saja. Ia palingkan wajah keluar jendela bis, dan tampaklah hari yang masih gelap.

“Oh, sudah subuh rupanya. Apa ibu sudah salat juga?” kata anak muda itu kemudian. Dipandangnya wajah orang tua itu sejenak.

“Ya, ibu sudah salat tadi. Setengah jam lalu bis berhenti di sini. Pergilah salatlah dulu, di samping rumah makan itu ada musalla,” tunjuk perempuan itu ke arah bangunan kecil di samping rumah makan.

Dilihatnyalah beberapa orang penumpang berada di dalam rumah makan itu yang ruangannya disinari bohlam yang cukup terang. Sebuah televisi nyala di sudut ruangan menyajikan musik hiburan. Di halaman depan parkir dua buah bis, satu diantaranya bis yang ditumpangi Fikri. Suasana di sekitar tempat itu masih gelap. Dikelilingi rimbunnya hutan berbukit.

Bergegaslah Fikri turun bis menuju musalla untuk menunaikan kewajibannya kepada Tuhan. Terasalah penat-penat tubuhnya ketika kakinya menginjak tanah. Digerak-gerakkannya sejenak tubuhnya itu agar otot-ototnya renggang. Tampak lelah sekali ia rupanya. Perjalanan itu terasa amat jauh. Ia tak tahu saat itu telah berada di mana. Yang ia tahu ia tertidur pulas ketika bis baru memasuki Berastagi. Ditebak-tebaknya saja kalau-kalau bis yang ia tumpangi sudah berada di perbatasan Sumatra Barat.

Dinikmatinyalah salat subuh pagi itu. Walau agak telat waktunya, tapi ia tetap salat juga. Air di dalam kulah yang ia gunakan untuk berwudhu terasa dingin sekali. Daerah pegunungan tempat itu agaknya. Ya, mungkin benar saja air itu berasal dari pegunungan yang dialirkan orang karena ia melihat ada pincuran yang mengarah ke dalam kulah sementara di seberang bawah sana terdengar suara air sungai yang mengalir deras.

Usai salat berdoalah ia beberapa saat lamanya. Dimintanya kepada Tuhan apa yang ia cita-citakan selama ini. Doa minta keteguhan iman, rezeki, umur berkah, dan kesehatan ibu serta adik-adik yang ia tinggalkan. Tanpa ia sadar jatuhlah air matanya membasahi pipi, namun ia cepat insyaf dan segera menghapus air mata itu.

Tak berapa lama kemudian berangkatlah bis itu kembali. Sopir bis membunyikan klakson beberapa kali tanda bis siap jalan. Berhamburanlah para penumpang di dalam warung yang menghabiskan waktu sejenak meminum kopi maupun memesan makanan untuk menghilangkan rasa kantuk dan dingin. Di dalam bis tampaklah wajah-wajah mereka sebagiannya cerah, namun lebih banyak yang merebahkan kepalanya kembali ke sandaran kursi lalu terlelap dilamun mimpi.

Penumpang yang tidak tidur, sibuklah mereka dengan pikiran masing-masing namun tak ada yang bersuara.

***

Udara dingin yang masuk lewat sisi kaca jendela bis yang berjalan itu menggigilkan tubuh Fikri. Ditutupnya kaca itu rapat-rapat.

“Mau pergi ke Padang, Nak?” tanya ibu di sebelahnya yang sejak bis berjalan tadi tampak tidak tidur.

“Iya Bu, tapi saya akan singgah dulu di Pasaman, mencari alamat mamak saya di sana,” jawab Fikri kemudian.

Ibu itu mengangguk. “Sudah pernah anak ke Pasaman?”

“Belum ibu. Ke Padang juga saya belum pernah. Ini pertama kali saya merantau.” Ucap Fikri ramah. Terlibatlah mereka pada perbincangan tentang asal diri masing-masing.

“Apa anak tahu alamat mamak yang anak cari itu?”

“Tidak Bu. Saya akan mencarinya. Ada amanah dari ibu saya yang akan saya sampaikan kepada mamak saya itu. Kata ibu saya mamak saya itu tinggal di Kampung Kajai, Pasaman,” jawab Fikri lagi.

“Oh, anak sungguh berani. Tanpa alamat jelas yang dituju anak berani merantau.”

Anak muda itu hanya tersenyum saja. Sejenak kemudian mereka diam. Larut dengan pikiran masing-masing.

Lalu ibu itu membuka pembicaraannya kembali. “Kalau memang anak akan ke Kajai, berhentilah nanti di Panti. Bis ini akan terus ke Padang. Anak menumpang bis lainnya ke Kajai. Di simpang Panti banyak bis tujuan ke sana,” kata ibu itu menerangkan kepada Fikri dimana ia akan turun nanti.

“Terima kasih Bu. Insya Allah. Oh iya, Ibu tinggal di mana?” tanya Fikri kemudian.

“Di Padang.”

“Di Padang? Bukankah ibu dari Aceh?”

“Iya, Ibu dari Takengon. Ada anak di sana yang ibu kunjungi. Sekarang ibu pulang kembali ke Padang.” Lembut benar tutur kata ibu itu. Mengesankan hati Fikri.

Bis terus melaju kencang. Hari telah terang benderang rupanya. Pemandangan di kiri kanan jalan di kawasan yang dilalui bis itu terhamparlah perkebunan kelapa sawit yang sangat luas. Semuanya menghijau. Sementara nun, di atas bukit barisan terlihat awan putih berarak menandakan hari sangat cerah.
(bersambung)
Tulisan Asli : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]