-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (20)


Oleh Muhammad Subhan

TIGA

Sebulan sesudah peristiwa kematian Mak Safri, semakin tak tentu saja yang dikerjakan Fikri di kampung itu. Tak ada kesibukannya lagi mengantarkan makanan ataupun merawat mamaknya di dalam gubuk di tengah hutan manggis. Kematian telah memisahkan jarak di antara mereka. Dan yang tak habis ia pikir, bagaimana mamaknya itu dapat lepas dari kayu pasungnya yang besar mengikat di kedua kakinya. Siapa yang membukanya tak sampailah akal pikirannya ke sana. Dan, kalau mamaknya itu membukanya sendiri, tak mungkin pula dilakukannya.

Sejak peristiwa itu berkali-kali ia dipanggil ke kantor polisi sebagai saksi atas pembunuhan itu, namun tak juga bisa banyak ia katakan selain ia hanya melihat dua orang berkain sarung yang tertutup tubuhnya, matanya saja yang kelihatan. Lebih dari itu tidak tahu dia. Polisi juga belum berhasil menemukan si pelaku pembunuhan lantaran kurangnya bukti dan saksi-saksi, hingga lambat laun peristiwa yang ngeri itu mulai dilupakan saja oleh orang kampung.

Setelah ditinggal mati mamaknya, anak muda itu lebih banyak bermenung di biliknya di rumah gadang. Kadang ia hanya tiduran saja di dipannya. Mak Tuo yang paham benar keadaannya tak ingin mengusiknya. Tampaklah di matanya kalau anak muda itu semakin turun saja semangat hidupnya.

Kala pagi hari usai subuh pergilah anak muda itu ke lubuk Batang Tantongar yang dalam. Duduk dia bermenung di sana, di antara batu-batu besar menghadap ke lubuk. Ada dua tiga orang pencari kayu yang lewat menegurnya agar jangan berlama-lama duduk di lubuk, ditakut-takutinya pula dia dengan segala macam cerita makhluk halus penghuni lubuk, ada orang bunian, harimau jadi-jadian, kuntilanak, tuyul, dan bermacam nama yang seram-seram lainnya, tapi tak kecut sedikit jua hatinya. Pikirannya jauh menerawang masa depannya yang buram, meratapi kemalangan hidupnya yang tak kunjung berkesudahan.

Kala hari telah senja barulah ia beranjak pulang ke rumah gadang, dihidupkannya lampu minyak, lalu usai sembahyang magrib duduklah ia membaca Alquran berlama-lama untuk menentramkan jiwanya yang gundah gulana. Kadang terdengar suaranya menangis terisak-isak membaca ayat-ayat suci itu hingga menjelang waktu Isya masuk. Sudah jarang terdengar suara azannya di surau yang tak jauh jaraknya dari rumah gadang itu. Kala orang bertanya mengapa ia tak ke surau, mudah saja ia menjawabnya kalau ia sedang tak enak badan.

Ibalah hati Mak Tuo menyaksikan semua pemandangan yang sedih itu terhadap diri Fikri yang telah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Berusaha ia menegarkan hatinya agar jangan berlama-lama larut dalam kedukaan, tapi anak muda itu tak jua berubah keadaannya. Penderitaan demi penderitaan yang dialaminya malah membuat dirinya semakin buruk, yang mengibakan hati banyak orang yang melihatnya.

Salah seorang yang juga memperhatikan dirinya adalah Yusuf, pemuda yang sejak kematian Mak Safri semakin dekat pergaulannya dengan Fikri. Yusuf lah yang senantiasa menghiburnya untuk tegar menghadapi semua cobaan itu. Polisi pernah pula mendesak Fikri apakah ada saksi lain yang bisa menguatkan sehingga si pelaku pembunuhan dapat ditangkap, tapi anak muda itu diam saja, tak mau menunjuk Yusuf, yang menasehatinya malam itu untuk tidak menemui Mak Safri. Mafhum dia kalau Yusuf dipanggil polisi akan terbongkarlah semua kejahatan pemuda-pemuda yang mencelakakan mamaknya itu. Tapi menurutnya itu hanya akan memperkeruh keadaan saja, dan kalau polisi tahu bisa celaka pula hidup Yusuf. Maka disimpannya saja segala yang sudah terjadi dan tak ingin dia ungkit-ungkit lagi.

Kasihan juga Fikri terhadap Yusuf yang malam itu dipukuli pula oleh kawan-kawannya lantaran dianggap membocorkan rencana mereka hendak mencelakakan dirinya. Tentu diancam pulalah Yusuf jika polisi tahu dan nyawanya jadi taruhan pula.

Suatu hari bertemulah mereka di pematang sawah Mak Bujang. Di sebuah dangau ditingkahi semilir angin gunung berceritalah mereka dengan leluasa. Sementara hari itu Mak bujang tidak turun ke sawah lantaran diserang demam sebab seharian kemarin ia berhujan-hujan.

“Aku dengar kau akan meninggalkan kampung ini. Benarkah demikian?” tanya Yusuf membuka pembicaraan. Di tengah sawah tampak burung pipit bergelombolan hinggap di batang-batang padi yang melambai-lambai dibuai angin.

“Iya Abang, sudah habis akal saya di kampung ini. Tak ada lagi yang bisa saya kerjakan. Lagi pula cita-cita saya akan kuliah belum saya tunaikan,” jawab anak muda itu. Matanya menerawang jauh ke puncak Talamau yang diselimuti kabut.

“Kemana kau akan pergi? Tak dapatkah kau tinggal di sini saja? Tentu Mak Bujang dan Mak Tuo sangat membutuhkan dirimu,” ujar Yusuf pula. Tampak kebimbangan di raut wajahnya.

Sesaat heninglah di antara mereka. Fikri tak segera menjawab. Matanya tampak berkaca-kaca menahan sedihnya mengingat segala suka duka selama ia tinggal di kampung ibunya itu.

“Saya akan terus ke Padang. Saya coba mengadu peruntungan hidup saya di kota itu. Kalaulah elok nasib saya, kelak saya akan ziarahi juga kampung ini,” ujar Fikri pelan, seolah untuk pendengarannya sendiri.

Termenunglah Yusuf mendengar perkataan Fikri itu. Akan bercerailah mereka. Padang bukanlah kota kecil, terbayanglah ia akan beratnya perjuangan sahabatnya itu nanti setelah tiba di kota itu. Dia pernah pula bekerja di Padang, namun hanya setahun dua tahun ia tahan setelah itu ia kembali pulang ke Kajai. Kini sahabatnya memutuskan untuk mempertaruhkan hidupnya di negeri yang besar itu. Kepada siapa dia akan mengadu, kepada siapa ia akan menumpangkan badannya tanpa sanak saudara di sana.

“Kalau aku boleh memohon, janganlah kau pergi ke sana. Kota itu sangatlah kejam. Pergaulan orang elu-gua saja. Uang segala-galanya. Kau tak akan sanggup Fikri. Dengarlah nasihatku kali ini,” ujar Yusuf dengan penuh harapan agar anak muda di sampingnya itu mendengar nasehatnya.

“Terima kasih nasehat abang. Tapi tekadku sudah bulat. Di kampung ini kedatanganku tidak diharapkan. Aku tak mau Abang celaka pula nanti lantaran membelaku. Biarlah saya pergi Bang. Jika Allah izinkan, kelak kita akan bertemu jua,” ujar Fikri lagi.

Dari kejauhan terdengar suara puput dibunyikan seorang anak gembala di atas kerbaunya. Merdu dan syahdu nian suara itu. Melukiskan penderitaan hidup anak petani yang buram masa depan mereka. Angin membawa nyanyian puput itu sampai ke telinga Fikri dan Yusuf. Fikri yang halus perasaannya tak mampu menahan hatinya, jatuhlah air matanya mengenang segala penderitaan hidupnya.

“Abang, kalaupun aku harus meninggalkan kampung ini, bolehlah saya minta sesuatu kepada Abang,” kata Fikri kemudian. Dihapusnya air mata yang jatuh membasahi pipinya.

“Apakah yang dapat saya bantu?” tanya Yusuf dengan tatapan matanya yang serius memandang Fikri.

“Tolonglah Abang lihat-lihat Mak Tuo saya, dia hidup sebatang kara. Walau dia menahan saya pergi meninggalkan kampung ini lantaran rumah dan tanah itu hak saya katanya, tapi dialah yang lebih pantas memiliki rumah itu. Dia pula yang selama ini merawat dan menjaganya,” ujar Fikri. Lagi-lagi dia diam.

“Pesan kau akan saya jalankan. Insya Allah,” jawab Yusuf.

“Terima kasih Bang Yusuf. Saya akan sangat kehilangan Abang, sebagai seorang sahabat yang baik terhadap saya.”

“Saya lebih kehilangan kau Fikri, maafkanlah kesalahan saya selama ini, agar tenang pula hidup saya kelak,” pinta Yusuf sembari menjabat erat kedua tangan anak muda di hadapannya itu. Berangkulanlah mereka tanda persahabatan dan kelak berjanji akan saling tolong menolong.

Saat matahari mulai merangkak turun pulanglah mereka melintasi pematang sawah yang yang licin lantaran lembabnya. Sampai di tikungan yang memisahkan jalan ke rumah masing-masing berpisahlah mereka. Keduanya berjanji akan bertemu kembali jelang keberangkatan Fikri ke Padang. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]