-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Rabu, 28 Juli 2010

Rinai Kabut Singgalang (18)


Oleh Muhammad Subhan

Kira-kira sudah ringan badannya usai makan, bergegaslah ia membersihkan pinggan di atas meja makan. “Tak usah kau bereskan, pergilah antar makanan buat mamak kau saja,” seru Mak Tuo dari dapur. Terdengar ia bunyi piring dan gelas dipindahkan Fikri di ruang makan. “Tak apa Mak, sedikit ini saja, tak memberatkan saya pula,” sahut Fikri.

Dibawanya piring dan gelas kotor itu ke dapur. “Sudah, letakkan di situ saja, biar Mak bersihkan nanti,” kata Mak Tuo. “Baik Mak,” jawab anak muda itu.

Lalu bergegaslah ia ke dalam bilik, mengganti pakaian, dan mengambil makanan yang sudah dirantangkan Mak Tuo di meja dapur. “Wah, akan senanglah Mak Safri makan masakan gulai ikan Mak Tuo ini, semoga cepat pula sembuh sakitnya,” ujar Fikri, senyum tersungging di bibirnya. Mak Tuo ikut tersenyum pula.

Tak lama setelah itu pamitlah ia untuk mengantarkan rantangan itu, sementara hari kian beranjak tinggi. Sebentar lagi waktu zuhur masuk pula. Fikri biasa sembahyang zuhur di gubuk mamaknya itu. Dan bergegaslah ia meninggalkan rumah gadang lalu menuruni jenjang di samping rumah, melewati jalan setapak kebun manggis yang luas di belakang rumah gadang itu.

Dari kejauhan tampak puncak Gunung Talamau diselimuti awan tebal meski bukan mendung. Siang cukup terik, untunglah ia berjalan di bawah pohon-pohon manggis yang rimbun sehingga tak terasalah kulitnya oleh sengatan sinar matahari siang itu.

Sambil berjalan bersiul-siullah ia menandakan keriangan hatinya. Sekali-kali dipandanginya pucuk-pucuk pohon durian yang juga banyak tumbuh di sana, tampaklah ia beberapa ekor tupai melompat ke sana ke mari, dari satu dahan ke dahan lainnya. Melobangi buah durian mengkal tentu paling suka tupai itu, tak jarang banyak buah durian yang jatuh namun sudah berlobang-lobang kulitnya digigit tupai. Tapi konon pula buah durian yang dimakan tupai itu pula buahnya yang paling lezat dan ranum rasanya.

Dalam perjalanan itu tak ingatlah Fikri akan nasihat Yusuf tadi malam bahwa dirinya sedang diancam bahaya oleh pemuda kampung yang iri kepadanya. Kalau saja ia dicelakakan orang di tengah hutan manggis yang luas itu tak ada seoranglah yang tahu. Dan benarlah apa yang dikatakan Yusuf itu, tak jauh ia berjalan telah dihadanglah ia oleh dua orang yang tak ia kenal sebab wajahnya ditutup kain sarung, hanya matanya saja yang tampak, sementara di tangan kedua orang itu memegang sebilah belati tajam.

Terkejutlah Fikri melihat ada orang yang tak ia kenal menghadang perjalanannya. Lalu terbitlah ingatannya tentang apa yang diceritakan Yusuf tadi malam. Kecut juga hatinya kalau-kalau kedua orang itu berniat buruk untuk mencelakakan dirinya.

“Maaf abang berdua, mohon izin saya untuk lewat, ada makanan yang akan saya antar buat mamak saya, Mak Safri,” ujar Fikri ramah, namun di wajahnya tampaklah rasa cemasnya.

Kedua orang itu tak bergeming. Diam dengan kesangarannya. Lalu keduanya saling pandang, mengangguk, dan tiba-tiba menyerang Fikri membabi buta.

Tentulah terkejut Fikri dibuatnya. Rantangan yang dipegangnya terlepas jatuh ke tanah dan ia mencoba menghindar dari terjangan kedua orang tak dikenal itu. Tapi naas baginya, setiap kali ia mengelak setiap kali itu pula tendangan demi tendangan kedua orang itu menghantam perut dan dadanya. Siapalah yang dapat melawan dua sosok tubuh kekar itu, sementara Fikri bukanlah orang yang punya ilmu beladiri. Hingga terbitlah darah dari hidung dan mulutnya menahan sakit yang sangat ia rasakan.

Kedua orang itu terus memukulinya dengan membabi buta. Namun tiba-tiba pukulan keduanya berhenti karena di belakang mereka telah berdiri sesosok tubuh seorang tua dengan matanya yang memerah lantaran marahnya menyaksikan keberingasan mereka. Lalu dipukulinyalah kedua orang bersarung itu. Merasa keduanya mendapat lawan tangguh, keuarlah bermacam ilmu silat yang mereka punya, lalu terjadilah perkelahian yang tidak seimbang.

Antara sadar dan tidak, Fikri menyaksikan tiga orang yang berkelahi saling pukul dan tendang dengan ilmu beladiri masing-masing. Sambil memegang perut dan dadanya merangkaklah ia ke batang durian yang cukup besar dan menyandarkan tubuhnya di sana. Samar-samar matanya melihat siapa orang yang telah menyelamatkan dirinya itu. Terkejutlah ia menyaksikan orang tua itu yang tak lain adalah mamaknya sendiri, Mak Safri.

“Mak Safri? Bagaimana mamak bisa lepas dari kayu pasung?” Akalnya tak habis pikir menyaksikan apa yang ia lihat.

Ternyata mamaknya itu pandai ilmu silat. Hampir setengah jam lamanya mereka saling tangkis dan serang. Tapi karena kedua orang tak dikenal itu lebih muda tubuhnya dan lebih gesit gerakannya terdesaklah Mak Safri hingga berkali-kali tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya. Tampak pula darah menitik deras dari mulut dan hidungnya.

Tak kuatlah Fikri menyaksikan pemandangan yang berat itu. Berteriak-teriaklah ia meminta pertarungan itu segera dihentikan. “Tolong jangan dicelakakan mamak saya, tolong! Mamak saya itu dalam keadaan sakit!” Teriaknya dengan suara yang payah.

Tapi kedua orang itu tak peduli. Terus saja mereka memukuli dan menendang tubuh Mak Safri yang tak berdaya. Walau demikian keadaannya namun tetap melawan juga Mak Safri dengan sisa-sisa tenaganya. Kedua orang bersarung itu semakin nekat, maka keluarlah belatinya dan menikamkannya ke perut dan dada Mak Safri hingga darah segar membasahi tubuhnya yang hanya tulang berbalut kulit itu.

“Mamakkk….. Oh, kalian apakan mamak saya. Kalian pembunuh! Kalian celakakan mamak saya…!” Bangkitlah Fikri dengan susah payahnya mengejar tubuh mamaknya yang jatuh terkapar bersimbah darah. Melihat lawannya telah jatuh tak lagi berkutik, kaburlah kedua orang itu, menghilang ke balik rerimbunan pohon manggis di tengah hutan yang lebat. Sementara Fikri telah meraung-raung tangisnya melihat pemandangan yang sangat ngeri itu.

“Mamak… kenapa mamak keluar gubuk, kenapa Mak? Kenapa mamak selamatkan aku?” Raung Fikri memapah tubuh Mak Safri yang nafasnya tinggal satu-satu.

“Bertahan Mak, bertahanlah. Saya akan cari pertolongan... Mamak tidak boleh mati, aku harus merawat mamak hingga sembuh…!” Fikri menarik tubuh mamaknya itu merapat dan bersandar ke batang pohon manggis. Darah segar terus mengalir deras dari perut dan dada mamaknya itu yang semakin lemah.

“Mamak tunggulah di sini, saya akan pulang meminta pertolongan orang kampung,” kata Fikri kemudian. Hendak bangkit ia berdiri namun tangannya cepat ditarik mamaknya, lalu dengan bahasa isyarat kepala Mak Safri menggeleng menandakan anak muda itu tak usah pulang mencari pertolongan.

Dengan susah payahnya tangan Mak Safri meraih kepala Fikri, lalu mengusap-usap dengan lembut rambut anak muda itu. Seolah ia menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada terkira kepada anak muda malang itu yang selama ini mengasuh dan merawatnya dengan sangat sabarnya. Dan saat itu akan bercerailah kasih di antara mereka, sebab nyawa manusia Tuhanlah yang punya kuasa.

Insyaflah Fikri akan pemandangan yang terhampar di matanya. Tak lama lagi akan lepaslah nyawa mamaknya itu, dan seolah malaikat Izrail yang tak berbelas kasih itu telah berada di ambang mata orangtua yang malang itu. Mengapa sampai demikian akhir cerita kehidupan mamaknya, abang kandung ibunya itu, sehingga pula Fikri harus ikut merasakan penderitaannya. Duhai, tak mampulah ia menanggung perkara berat itu.

“Mamak, bertahanlah, bertahanlah Mak…” Fikri terus memberikan semangat kepada Mak Safri, namun apa hendak dikata, habislah sudah perjanjian mamaknya dengan kehidupan dunia yang teramat berat dan kejam ini.

Dituntunyalah kalimat syahadat dengan teramat berat diucapkan mamaknya itu. “Asy ha…du… allaa.. ilaa.. haa.. ilallah… wa asyhadu… anna… muham… madur… rasu… lullah….”

Meski tak terdengar suara mamaknya mengucapkan kalimat syahadat yang dibimbing Fikri, namun tampak lidahnya bergerak mengiringi bacaan suci itu. Lalu lepaslah nyawanya, berpisah dari jasadnya yang rapuh, berpindah alam yang lebih kekal sepanjang masa. Telah berpulanglah Mak Safri dengan tenang ke haribaanNya, diiringi isak tangis Fikri dengan sedihnya.

“Mamakkk…..” Terdengarlah raung anak muda itu menggema di tengah hutan manggis yang sepi. Angin pun seolah berhenti berbisik, tak ada kicau burung, hanya suara si amang yang terdengar nun di tengah rimba Talamau yang saling sahut menyahut seolah mengabarkan berita kematian yang sangat sedih dan ngeri itu. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]