-->
© 2010 BLOG ARSIP - >> 1 Ramadhan 1431.H jatuh pada 11 Agustus 2010, redaksi blog Arsip mengucapkan maaf, maaf lahir bathin, dengan hati yang suci, mari kita laksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, kita dianugrahi dua peristiwa penting sebagai anak bangsa, ramadhan dan ulang tahun bangsa ini pada 17 Agustus

Senin, 19 Juli 2010

Cerbung: Rinai Kabut Singgalang (14)


Oleh Muhammad Subhan

Sesampainya di gubuk Mak Safri sore itu, diambilnya sapu ijuk dan dibersihkannya bilik mamaknya itu dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Sejak ada dia merawat Mak Safri sedikit berubahlah keadaan mamaknya itu. Gubuknya lebih bersih, demikian juga dengan pakaian yang dipakai mamaknya. Walau orang-orang kampung menyebut mamaknya itu gila, kurang waras, hilang akalnya, dan segala sebutan yang buruk-buruk lainnya, namun tidaklah dia nampak semua pemandangan itu. Di matanya mamaknya itu biasa saja, layaknya orang sehat. Hanya satu yang kurang, belum pernah sekalipun ia lihat dan ia dengar mamaknya itu bersuara. Diam saja.

Tapi tak soal baginya dengan hal ikhwal keadaan abang ibu kandungnya itu. Kewajibannya sekarang hanya merawatnya, meski sampai saat itu Mak Bujang, orangtua yang masih ada hubungan famili dengannya itu belum juga menemukan kata sepakat dari petinggi kampung agar Mak Safri bisa dibawa kembali pulang ke rumahnya. Ya, ke rumahnya sendiri, rumah gadang yang dibangun kedua orangtuanya tempat ia lahir dan besar. Siapa pula yang punya hak melarang orang tinggal di rumahnya sendiri? Entahlah, yang pasti orang-orang kampung masih was-was kalau-kalau sakit mamaknya itu kumat lagi dan mencelakakan banyak orang.

Usai ia membersihkan gubuk yang berada di tengah hutan manggis itu, didekatinyalah Mak Safri, mamaknya itu. Dipapahnya orangtua itu duduk bersandar ke dinding, dipijat-pijatnya kaki dan tangan mamaknya itu dengan penuh kasih sayang. Ibarat sayang seorang anak kepada ayahnya. Siapalah lagi orang yang mau berbuat demikian kepada seorang yang hidupnya sebatang kara? Orang-orang sudah mencapnya sebagai orang tak berakal, lalu siapa orang yang benar-benar punya akal mau menolongnya? Tiadalah orang itu, kecuali anak muda yang besar kasih sayang dan cintanya itu. Diambilnya handuk yang telah ia rendam dengan air hangat, ia bersihkan tubuh mamaknya itu tanpa malu atau risih sekalipun.

Siapakah orang yang mampu berbuat demikian dengan setulus-tulus hatinya? Seorang anak kandung saja kadangkala enggan merawat kedua orangtuanya yang telah sakit parah atau telah pikun dimakan usia dan tak bisa berbuat apa-apa, konon lagi merawat seorang mamak. Lihatlah di kota-kota sana, berapa banyak anak-anak yang telah dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orangtuanya dengan penuh kasih sayang namun setelah ia dewasa, setelah ia berumah tangga dan punya segala-galanya malah kedua orangtuanya itu dicampakkannya? Diantarkannya pula ke rumah-rumah panti jompo agar orang lain yang merawatnya karena jika tinggal di rumah mereka orangtuanya itu dianggap merepotkan keluarganya saja. Duhai, tak ingat ia dikala masih ia kecil kecing dan beraknya ibunyalah yang membersihkan, namun ketika keadaan itu terjadi kepada kedua orangtuanya yang telah uzur, timbullah rasa jijik mereka kalau pula harus membersihkan kencing dan berak ibu bapaknya yang tak bisa lagi berbuat apa-apa. Bahkan dengan keluh kesah mereka menyesal telah memiliki orangtua yang demikian? Sungguh durhaka benar anak-anak yang demikian. Malanglah orang tua yang telah melahirkan anak-anak yang tak pandai berbalas budi itu.

Tapi sekarang di hadapan orangtua yang dianggap tidak waras akalnya oleh orang-orang kampung itu, duduk seorang anak muda belia yang dengan tekunnya merawat dirinya yang malang. Padahal ia bukanlah orangtua dari anak itu. Tapi perlakukannya kepada dirinya melebihi seorang anak kandung meskipun ia tidak pernah mengecap indahnya berumah tangga, memiliki istri, dan anak-anak. Sungguh bahagialah dia menjadi orangtua jika memiliki seorang anak yang pandai berbakti seperti Fikri itu.

Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya. Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata membasahi kedua pipi mamaknya itu. Tapi ia tidak juga bicara. Dan ditanyakannya pula kenapa mamaknya menangis, ia menekur saja dalam-dalam. Kadangkala timbul ibanya terhadap kondisi mamaknya itu, dan selalu ia ulang-ulangkan kata bahwa ia sedang berusaha untuk membawa mamaknya pulang ke rumah gadang. Karena rumah itu rumah mamaknya, dialah yang berhak tinggal di rumah itu.

“Saya berharap mamak segera sembuh dari sakit ini. Mamak tidaklah sendiri lagi, saya akan merawat mamak semampu saya,” ujar Fikri, namun dalam gumamnya saja.

Usai ia beri makan minum dan memijat-mijat tubuh mamaknya itu, minta pamitlah ia sebab hari telah senja. Alam di sekitar mulai gelap apalagi di tengah hutan manggis dengan batang-batang pohonnya yang rapat-rapat. Setiap kali ia pulang meninggalkan gubuk itu, disalaminya kedua tangan mamaknya itu dengan penuh ketakziman meski balasan yang ia dapat hanya sikap dingin mamaknya saja. Tapi ia tak pernah bosan melakukan itu sebagai wujud baktinya kepada orangtua. Baginya, walau mamaknya itu abang ibu kandungnya, tapi ia orangtua juga bagi dirinya. Sudah kewajibannyalah berbakti kepada orang yang lebih tua usianya sebagaimana pelajaran yang ia dapatkan dalam kitab-kitab kala ia mengaji di balai pengajian di kampung pesisir Aceh dulu.

Sebelum beranjak ke luar gubuk, dihidupkannya lampu minyak yang tergantung di dinding. Demikian pula lampu di bagian luar gubuk. Sempat ia berpikir macam-macam, bagaimana kalau seandainya lampu itu terjatuh lalu tumpahlah minyaknya dan terbakarlah gubuk itu sementara kedua kaki mamaknya dipasung. Kemana mamaknya hendak menyelamatkan diri jika di sana tak ada orang yang menjaganya. Tak mampulah ia membayangkan kejadian yang ngeri itu, dan ia berdoa selalu agar mamaknya itu dilindungi oleh Allah dari segala marabahaya dan malapetaka.

Dibuyarkannya segala pikiran macam-macam yang buruk-buruk dari benaknya. Usai mengucapkan salam beranjaklah ia keluar gubuk lalu pulang melintasi jalan setapak menuju rumah gadang tempat ia tinggal. Dilihatnya alam sekitar yang mulai gelap dan cepat-cepatlah ia langkahkan kaki takut kalau-kalau hilanglah waktu magribnya. Tapi syukurlah, tepat ia tiba di jenjang rumahnya azan magrib dikumandangkan bilal di masjid. Lalu cepat-cepatlah ia bergegas ke tepian mandi, berwudhu lalu shalat dengan khusyuknya. Tak ada doa yang lebih panjang ia panjatkan kepada Tuhan kecuali doa mohon keselamatan kepada mamaknya yang malang itu, juga doa kepada ibunya dan kedua adik-adiknya yang sedang di rantau orang. (bersambung)

Sumber : M.Subhan
IP
KUMPULAN KLIPING LAINNYA
Widget By: [arsip berita, artikel dan foto]]